“Without Roots, There Are No Branches”

(Sound System VS Sight System)

Credo “the only good system is a sound system” yang lumrah dalam domain tradisi sound system mungkin hanya sebuah pepesan kosong atau ungkapan yang hambar tanpa makna kalau seandainya kita tidak menilik lebih jauh dari sekedar ungkapan kalimat serta pun genealogy siapa yang pertama kali menghembuskannya. Hal menarik lain yang dapat memperkaya pemahaman kita lebih mendalam adalah bilamana kita berupaya memahami latar belakang kehadirannya.

Sound system merupakan suatu fenomena praktek kebudayaan yang boleh dikata adalah akar rhizoma atau titik nol perjalanan musik populer di Jamaika yang kita kenal saat ini. Ia lebih dari sebuah kalimat yang kerap kali didengungkan lewat toasting para DJ and MC. Dari kaca mata kajian budaya ataupun kajian postkolonial, sound system merupakan sebuah counter hegemony terhadap epistemologi dunia barat yang senantiasa mendikte pengetahuan untuk didasarkan atau dititikberatkan pada tradisi visual. Panca indra (sense) dalam epistemology barat seringkali disusun secara hirarkis dimana visual menempati posisi yang prestise. Menekankan literasi (teks-teks), sesuatu yang kita lihat dan baca. Visual telah menjadi fondasi dalam ilmu pengetahuan dan juga spiritualitas dalam epistemologi barat. Literasi senantiasa menjadi simbol prestise bagi kaum kelas atas pada jaman perbudakan dan penjajahan. Yang memiliki akses pendidikan yang demikian adalah kaum elite. Itu menandakan peradaban atau sivilisasi mereka. Sebaliknya iliterasi (buta aksara) dianggap sebagai ciri kaum kelas bawah, symbol marginal, kebodohan, keterbelakangan, dan berbagai inferioritas lainnya.  Melihat kemungkinan lain bahwa pengetahuan tidak hanya lewat visual saja tapi juga ‘sound’ menuntun kita pada tradisi secara umum di Jamaica termasuk dalam sound system.

Jamaican reggae soundsystem dapat dilihat atau dimaknai sebagai studi kasus untuk meteorikan bagaimana “sounding” bisa dijadikan mode alternatif pengetahuan yang didominasi oleh acoustic (sound) ketimbang apparatus indra (sense) visual. Dengan point of view ini maka “sounding” dilihat sebagai suatu praktek dan cara analisis kultural budaya Jamaika yang lebih bersifat relasional daripada hirarkis.

Secara mendasar matriks epistemology pengetahuan yang berdasarkan atas suara (sound-based) ini beresonansi dengan benua Afrika. Ia menjadi semacam pijakan budaya (cultural-grounding) dan titik referensi sonic (point of sonic reference) bagi tumbuh kembangnya sound system atau Jamaican popular musik secara umum. Ada semacam apresiasi terhadap nilai-nilai yang muncul dari suara (sound). Dan ketika berbicara mengenai sound system maka secara otomatis akan mengacu pada lagu (song and chant), music dan dansa melalui tiga actor utamanya yakni sound engineer, DJ dan MC. Ketiga pilar utama penyokong budaya sound system ini sudah dibahas pada dua edisi sebelumnya dengan tajuk “The Founding Fathers.” Namun kali ini kita akan menilik tiga unsur dasar lainnya dalam praktek budaya sound system di Jamaika.

Nyanyian

Lagu (song dan chant) sebagai unsur pertama senantiasa berisi pesan-pesan secara oral lewat bahasa ucapan. Toasting dan nyanyian dalam tradisi Sound system serta musik popular Jamaika (ska, rocksteady, reggae, dan dancehall) sangat kaya dengan metafora dalam bahasa kreol Jamaika (broken English) yang disebut Patois, sebuah kombinasi dari bahasa Inggris standar dan beberapa bahasa Afrika. Pada zaman perbudakkan para budak diambil paksa dari berbagai macam suku di Afrika yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Mereka kemudian dibawa ke Karibia khususnya Jamaika. Agar dapat berkomunikasi satu sama lain mereka mendengarkan bahasa dari sang ‘slave master’ (Inggris) dan mengembangkannya untuk tujuan survival. Hadirnya Rastafari kian menguatkan posisi bahasa sebagai elemen vital. Bahwa bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi tetapi ia memiliki kuasa (power) untuk membebaskan secara mental, fisikal, dan spiritual. Dengan adanya gerakan Rastafari ini dialek Jamaika mulai muncul (dread talk). Dread talk atau Rasta talk ini sangat bersifat simbolis dan religious, ia mengangkat bahasa Patois ke level filosofis. Dread talk diciptakan untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan mendalam akan kekuatan dari bahasa ucapan. Seorang tetua Rasta, Bongo Israel mengatakan bahwa “Word, Sound Power” merupakan simbol dari manusia. Bahasa digunakan untuk memerangi ‘Babylon.’ Ia mengatakan “we don’t use stick or gun,” bahasa adalah senjata mereka. Jadi tradisi pengetahuan Jamaika yang merujuk ke Afrika itu dibangun dan dipupuk secara oral lewat “word, sound and power,” tidak lewat teks tertulis (literasi). Legitimasi gaya bahasa ini memang sangat dominan lewat tradisi sound system dan kemudian musik reggae yang memang sangat kaya dengan kreativitas verbal, kecerdikan permainan kata nan filosofis, simbolis dan religious lewat toasting, nyanyian atau lagu-lagunya.

Musik

Unsur berikutnya adalah musik. Terhempas dan tercabik dari Afrika, tanah leluhurnya, para budak menciptakan berbagai bentuk musik sebagai alat komunikasi dan juga sumber inspirasi. Michael Bokor dalam artikelnya berjudul “When The Drum Speaks” membahas mengenai tradisi perkusi (drum) Afrika dalam mempengaruhi perilaku manusia serta menepis anggapan banyak orang bahwa perkusi (drum) hanyalah sebatas instrumen untuk pertunjukkan hiburan, voodoo dan ritual. Artikel ini memberi argumen bahwa sebagai artefak kultural, perkusi (drum) yang dianggap pengganti bahasa ujar (drum language) merupakan simbol utama yang digunakan untuk tujuan retorik dalam mempengaruhi perilaku sosial, untuk meningkatkan kesadaran atau kewaspadaan, dan mendorong atau mempercepat respon kesadaran terhadap diri dan formasi identitas suatu kelompok. Fungsi retoris dari tradisi drum dan dansa Afrika ini memberikan wawasan menarik tentang sifat alamiah retorika pertunjukkan di dunia non-Barat.

Tradisi musik di Jamaika memang sangat dipengaruhi oleh warisan budaya Afrika. Hampir setiap Parish (wilayah) di Jamaika memiliki   musik tradisional tersendiri. Dari wilayah St. Thomas dan Portland ada musik dari kaum Maroons yaitu Kumina, Dinkie Minnie, dan Brukin Party. Di wilayah St. James, Hanover, dan Westmoreland ada Gerreh-benta, Ettu, Nago dan Bele. Di Clarendon dan St. Catherine ada musik Buru. Di wilayah urban seperti Kingston dan St. Andrew juga memiliki musik tradisional yakni Pukkumina dan neo-African Rastafarian chants. Ada juga Gumbe, Tambu dan berbagai style hingga yang paling tertua, Jonkonnu. Bentuk-bentuk musik tradisional ini sesungguhnya tidak hilang tetapi mereka membentuk semacam gugusan dasar yang diatasnya sejarah musik Jamaika berikutnya berdiri. Tentu saja tidak melupakan juga eksposur terhadap musik Eropa oleh para slave master melalui pelaut, tentara dan pendeta berupa nyanyian religi (religious chants), lagu rekreasi, folk song, ring games dan lain sebagainya. Mereka turut memberi nuansa dalam formasi dasar ini. Namun dari semua jenis musik di atas dengan segala karakteristiknya, sentralitas peran musik perkusi atau drum sangat lebih ditekankan. Lalu berikutnya adalah improvisasi teknik menyanyi tertentu seperti contralto oleh penyanyi perempuan dan falsetto oleh penyanyi pria melalui format ‘call and response’ atau saling bersahut-sahutan.  

Adalah Mento yang menjadi musik modern awal di Jamaika. Ia dianggap sebagai musik nasional pertama karena menjembatani batas-batas wilayah antar Parish dengan berbagai musik tradisional yang disebutkan di atas. Mento memperkenalkan space dansa dan social gatherings. Ia menemani Jamaika hingga proses modernisasi yang kian bergejolak melalui kehadiran radio, record player dan cinema. Populasi masyarakat Jamaika lantas mulai terekspos berbagai material dari Amerika pada dua dekade 1950an dan 60an. Proses hibridisasi musik mulai berhembus kencang. Jamaika secara geografis hanyalah pulau kecil, namun secara kebudayaan ia adalah benua besar. Mungkin tidak ada tempat lain seperti Jamaika yang berada tepat di tengah pusaran arus kencang pengaruh budaya Amerika Utara, berbagai negara di sekitar Karibia dan Amerika Latin.

Sound system secara spesifik muncul dari kehadiran radio dan record-player. Namun karena keterbatasan ekonomi saat itu belum banyak orang yang mampu memiliki kedua benda tersebut. Akhirnya oleh beberapa orang yang tertarik dengan urusan elektronik menghubungkan speaker (pengeras suara) dengan radio atau amplifier untuk menghadirkan akses hiburan gratis bagi mereka yang tidak mampu. Cara orang Jamaika memanfaatkan teknologi untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka ini terbilang unik bahkan berbeda dari negara-negara yang memanufaktur amplifier, player dan speaker. Meski Jamaika tidak memanufaktur peralatan-peralatan tersebut namun mulai bermunculan orang-orang yang tertarik dengan elektronik yang tidak hanya mampu memperbaiki amplifier tetapi juga mampu merakitnya sendiri. Kumpulan mega watt amplifier, speaker besar, serta Pustaka rekaman (vinyl) semua tersedia dalam satu unit yang portable dari tempat satu ke tempat yang lain. Menjadikannya seperti suatu institusi sound system khas nan unik yang hanya ada di Jamaika. Dua orang  ‘notable’ pioner yang mengembangkan usaha ini adalah Arthur Reid (Duke Reid dari Trojan) dan Clement Dodd (Sir Coxsone Downbeat). Musik yang mereka mainkan kala itu adalah hasil koleksi mereka saat berkunjung ke Amerika seperti berbagai variasi dalam Rhythm & Blues: slow dan up-tempo waltz, (instrumental) Jazz, serta juga musik Latin Karibia yakni mambo, cha cha, cha, merengue, mento dan calypso.

Namun ketika persaingan sound system kian sengit, ada keinginan untuk memproduseri musik yang otentik dan tidak dimiliki oleh para pesaing lainnya serta menghadirkan sesuatu yang baru di lantai dansa. Hal ini memunculkan bentuk kreativitas unik baru dalam tradisi sound system, yakni recycle riddim (daur ulang musik) dan voice over riddim yang memicu juga kemunculan selector (selecta)/deejay (DJ) dan MC (mic controller). Pelopor Langkah maju penggunaan riddim berawal sekitar tahun 1960 an ketika produser Clement Dodd dari Studio One merekam penyanyi seperti Larry Marshall untuk menyanyi pada rekaman import yang dimilikinya. Sebuah landmark yang seringkali menandai penggunaan riddim digital terjadi tahun 1985 lewat rilisan Prince/King Jammy dan Wayne Smith ‘Under Mi Sleng Teng’ yang riddimnya utuh berasal dari digital keyboard. Namun perkembangan signifikan adalah hadirnya DJ dan MC sebagai artis. Mereka akan meneriakkan berbagai hal di mic sambil memutar musik untuk menyemangati para pedansa di lantai dansa, sambil juga memuja muji diri serta sound system milik mereka. Pada persimpangan perkembangannya di 1960an seni ber DJ dan praktek ‘voice over riddim’ telah menjadi trend. Langkah berikut adalah membuat rekaman studio untuk vokalisasi DJ dan MC disinyalir pertama kali dipelopori oleh King Stitt. Kemudian yang lebih menonjol dalam perkembangan ini adalah U-Roy sama seperti yang dilakukan juga oleh King Tubby yang rekaman voice over riddim track instrument rocksteady awal dan memuncaki tangga hits di Jamaika pada 1970an. Trend ini kian diperkuat dengan hadirnya nama-nama seperti Big Youth dan Dennis Alcapone serta kemudian Lone Ranger dan Dillinger. Salah satu cabang dari sound system adalah dub yang berisikan rekaman original remix dimana para sound engineer seperti King Tubby, Lee ‘Scratch’ Perry, dan Scientist akan mendramatisir sound dengan efek faders, reverb dan delay.

Format DJ-based riddim-plus voicing baik dalam bentuk rekaman maupun live DJ toasting di lantai dansa telah menjadi idiom musik populer di Jamaika. Seluruh unsur dalam tradisi sound system inilah yang menjadi titik tolak awal inspirasi lahirnya musik populer Jamaika yang dunia kenal saat ini yakni ska, rock steady, reggae serta dancehall. Pengalaman sonic melalui sound system di lantai dansa memberi inspirasi untuk menciptakan musik yang otentik merepresentasikan tanah Jamaika. Roger Steffens dalam bukunya tentang biografi Bob Marley mengisahkan kebiasaan Marley menghadiri acara dansa sound system. Pengalaman ini Marley lagukan dalam lagu ‘Put It On’(1973) lewat liriknya “Feel like toasting” serta lagu ‘Roots Rock Reggae’ (1976) lewat lirik “Hey Mr.Music show sound good to me, I can’t refuse it what to be is got to be, Feel like dancing, dance cuz we a free.” Musik tradisi di awal hanya disubstitusi oleh inovasi dan teknologi tapi tetap mempunyai benang merah ke akar kultur di Jamaika.

Sementara tradisi dread talk atau rasta talk untuk mengekspresikan kesadaran dan kepekaan mereka terhadap kekuatan atau kuasa sesungguhnya dari bahasa ucapan (spoken word) terus dijaga atau dilestarikan juga dalam tradisi sound system melalui kehadiran DJ dan MC, penyanyi ‘toasting.’ Budaya sound system terus berubah dan beradaptasi dari masa ke masa. Pada dekade 1970 an pengaruh Rasta mengakibatkan music mendapat infusi unsur spiritual. Selain itu melalui pergerakkan Rasta ini juga, tradisi resistensi menjadi bagian integral dari musik, khususnya reggae. Namun sejak 1980 an sound system mulai mengagungkan music dancehall, subgenre dari reggae yang sangat dipengaruhi oleh American hip hop, musik digital, street politic dan fashion. Dan mulai dekade 1990 an hingga saat ini dancehall baik sebagai genre maupun kulturnya telah memiliki beragam style yang menurut beberapa pengamat musik Jamaika seperti Canace Morgan, telah mengaburkan tema-tema spiritual, politik, dan Pendidikan seperti yang kerap diusung pada era sebelumnya.

Dansa

Unsur terakhir adalah dance. Suara sound system melalui speaker dan amplifier berfungsi untuk menghimpun dan menghubungkan orang, membuka diri terhadap koneksi sosial. Kini musik reggae selain ditampilkan secara live band juga seringkali dimainkan melalui ‘sound system.’ Apparatus sound system berupa speaker, record decks, dan amplifier ketika dimainkan menekankan suara low frekuensi bass dan sub-bass, mengkomunikasikan vibrasi kuat kepada tubuh pendengar atau audiens. Namun sound system lebih dari sekedar koleksi objek-objek teknis tersebut. Ia juga tentang perakitan, skill arrangement, dan cara mengoperasikan elemen-elemen ini dalam konteks tertentu oleh para crewmember dan kelompok atau band. Arrangement ini bersama dengan interaksi antara pertunjukkan dan audiens membentuk space atau ruang untuk berdansa. Ada sebuah ungkapan dalam tradisi Afrika “Jika kamu adalah seorang penari yang kompeten, maka seorang penabuh drum bisa bercakap-cakap denganmu.” Budaya Jamaika senantiasa beresonansi dengan Afrika. Musik yang dihasilkan menekankan elemen perkusif atau drum dan bersifat ritmik sehingga berkaitan erat dengan tubuh. Musik menjadi satu kesatuan dengan dansa atau tarian. Dance merupakan aspek signifikan dalam budaya Jamaika dan dancehall dalam konteks tarian kontemporer merupakan bagian utama dari identitas Jamaica. Dengan tidak menampik kontroversi yang dibawa oleh tarian dan musik dancehall, Sonjah Stanley Niaah, seorang pengamat music dancehall Jamaica berpendapat bahwa orang harus bisa melihat estetika dancehall dari sudut pandang latar belakang kebudayaan Jamaika dan tidak menggunakan epistemology Barat. Ia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa “If you’re out there making Jamaican music and people can’t dance to it then you’re wasting your energy on a knock off version of Jamaican music which has historically electrified and simultaneously entertained the world.”

Di Indonesia sendiri perkembangan musik Jamaika begitu masif. Namun dari pengamatan Kultur untuk khusus kultur sound system belum terlalu mendapat perhatian dan perkembangan yang berarti bila dibandingkan dengan di Inggris, Perancis, dan Amerika. Eksperimen sound system di Indonesia masih menggunakan sistem PA (Public Address) lewat dub act secara personal maupun kolektif yang seringkali ditemukan di club dan venues kecil. Sound system yang massive dengan set up mobile sejauh ini dan sepengetahuan Kultur belum ada. Berbagai faktor bisa menjadi dasar analisisnya, seperti antara lain adalah faktor budaya yang berbeda serta regulasi atau peraturan yang belum memungkinkan.

(Yedi)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Diversitas Tanpa Batas Dalam Dub

Edisi khusus: Diversitas Tanpa Batas Dalam Dub

Nota Singkat Musik Jamaika di Indonesia

Musik asal Jamaika selalu berkembang mengikuti zaman, bahkan beriringan dengan kemajuan teknologi.

Punky Reggae Party

Edisi Khusus: Punky Reggae Party