Danar Pramesti

Sembunyi Dalam Arti

Lewat sambungan video call, kami berkesempatan melakukan sesi “bercerita” dengan tamu kultur kali ini. Seorang wanita yang ramah penuh gembira. Dengan spontan, banyak hal yang kami dapatkan darinya. Mulai dari sepatu yang menurutnya harus dibiarkan rusak, soal Leonard Cohen, tentang perjalanan musik nya, bahkan bagaimana ia memberikan verifikasi bahwa ia begitu percaya dengan statistik. 

 

Sebagai salah satu scenesters dari ranah musik-musik Jamaika di tanah air, karya dan catatan musiknya begitu mudah dikenali. Bersama band nya Souljah, ia telah merilis 5 album dan beberapa singles. Karya karya tersebut bahkan mendapatkan pengakuan berupa penghargaan dari salah satu institusi musik tanah air. Meski ia berpendapat awards tersebut bukanlah sebuah tujuan personal bagi nya. Ia lebih bersemangat menjawab pertanyaan kultur dengan ceritanya tentang interaksi bersama penggemar. Apresiasi dari fanbase ini lebih organik baginya. 

Foto oleh: Robby Soeharlim

Wanita bernama lengkap Danar Pramesti yang lahir pada 19 Maret 1979 ini menambahkan, para penggemar begitu istimewa baginya. Ia kerap mendapatkan ketulusan apresiasi secara spontan dari mereka. Souljah adalah salah satu band dari skena musik Jamaika di Indonesia yang secara khusus mendedikasikan penghormatan kepada penggemar lewat sebuah lagu, dengan judul yang diambil dari nama untuk kelompok penggemar nya; BraddaSouljah. Dengan tone yang begitu ceria, ia menjelaskan formula sing-along dari lagu lagu yang menjadi anthem bagi penggemar sepakbola adalah inspirasi dari lagu tersebut.

“Sebenarnya (lagu) ‘Mars BraddaSouljah’ bukan mars (secara musikal). Saat itu, kita (Souljah) sama sama mendengarkan ‘You’ll Never Walk Alone’, ‘Hooligans’ dan ‘I’m Forever Blowing Bubble’ Danar menjelaskan. 

Masih tentang Souljah, ia menjawab rasa penasaran kami tentang set pertunjukan mereka yang kerap memakai seragam. Dia menjelaskan bahwa ide itu awalnya datang dari Renhat (pemain bass dan juga “motor” untuk Souljah) yang ia amini. Dan dengan jenaka ia kembali menambahkan, “Ide yang logis. Biar gampang, gak repot mencocokan (warna kostum), lagian gue juga sadar, gue gak modis”.  Hal ini juga bersinggungan dengan penjelasan nya yang penuh tawa. Bahwa ia baru-baru ini saja “sadar” tentang blocking panggung. “Fotografer kita sering komplain, mbak, lu kalo di panggung jangan sering diam di tempat yang minim cahaya, kita susah ngambil (photo shoot) nya”.

Foto oleh Robby Soeharlim

Pembicaraan kami terus berlanjut, bahkan kami mendapatkan sebuah penjelasan dibalik nama Souljah. Pada kebanyakan interview, Danar dan para personil Souljah kerap menjawab preset pertanyaan berulang tentang nama mereka dengan sederhana. Kepada kultur ia menceritakan lebih details. Nama Souljah berasal dari judul proyek album kompliasi bersama teman teman band lain yang akan mereka rilis. Saat mempersiapkan proyek itu Souljah masih bernama Arigato. Album kompilasi yang direncanakan ini berjudul ‘Souljah’. Dari situlah nama ini berasal. 

Baginya, Souljah adalah kendaraan yang mengantarkan dirinya evolving dalam berkesenian. Bersama outfit ini dia melewati banyak proses, bermula dari sosok remaja yang lepas bebas, juga menjalani fase kekhawatiran akan pilihan hidup. Namun, tetap dengan semangat yang massive, mereka telah menjalani masa dimana Souljah mendapat julukan “raja pensi”, dan kini Souljah menjadi salah satu unit musik Jamaika asal tanah air yang secara statistik memiliki pendengar terbesar versi salah satu digital streaming provider. Meski dengan bersahaja ia menyebut itu sebagai “faktor X” saja, sebuah keberuntungan yang didapat oleh Souljah. Dia tetap membumi, mengakui bahwa secara musikalitas Souljah jauh tertinggal dengan banyak outfit dari generasi sekarang. 

Kami menyoroti hal ini, bersama Arigato maupun Souljah, Danar adalah salah satu bagian dalam perjalanan musik Jamaika di Indonesia. Tentu sejak medio 1990 an itu ia telah banyak menginspirasi banyak orang.

Lagi lagi, dengan derai tawa ia mengatakan: “Kan memang begitu, kita yang main band ya gini gini aja, menua bersama para fans dan ditinggalkan, berganti dengan kehadiran fans baru yang lebih muda”.

Dalam sesi bercerita ini, kami juga mengajukan pertanyaan tentang dirinya, bagaimana ia berkarya dalam berkesenian. Dengan ramah, ia menjawab satu persatu. Kami melakukan kilas balik, bagaimana ia memulai perjalanan musiknya. Dengan lugas, ia bercerita bahwa di usia belia, ia begitu terinspirasi untuk menjadi penyanyi setelah mengenal karya karya dari sang penyanyi mezzo-sopranos sukses pada tahun 1990 an, Alanis Morissette. Menghadiri konser sang bintang saat itu adalah momen besar baginya.

Ia menambahkan sambil tertawa, “Gue bahkan menulis cita-cita gue di buku perpisahan sekolah. Jadi Penyanyi!”. 

Awal perkenalan nya dengan musik musik Jamaika ia sebut karena ketidak sengajaan. Bermula dari kegemaran nya menyanyikan lagu lagu dari band asal California, Save Ferris. Dia begitu mengagumi sosok Monique Powell yang akhirnya membawanya mengenal ska lebih jauh. 

Kultur juga mendapatkan penjelasan menarik dari sosok Danar sebagai frontwoman. Bagaimana ia membagikan pengalaman nya menjalani proses berkesenian. Suka duka perjalanan tour, bagaimana ia membocorkan isi playlist nya yang penuh dengan kejayaan 1990 kepada kami.

“By default, selera musik gue itu ya reggae-ska. Reggae itu music yang sexy. Pasti bikin goyang. Di luar itu, gue dengerin apapun, artis masa kini dan beberapa nama yang bisa gue pelajari” begitu dia menjelaskan.

Danar juga menceritakan beberapa ide di balik penulisan lagu. Pendekatan produksi darinya begitu details. Pada beberapa karya nya, ia terlebih dahulu melakukan “research” untuk menemukan sebuah tema. Mungkin inilah salah satu formula yang berhasil membuat karya Souljah tak hanya dinikmati oleh penyuka musik-musik Jamaika di tanah air. Karya Danar bersama Souljah amat mudah diterima oleh publik. Simplicity melalui progresi chords ataupun tema yang updated dengan kondisi basis penggemarnya bagaikan sebuah template produk yang mudah diserap oleh pasar. Sebagai catatan, Danar sempat menjadi seorang copywriter pada sebuah agensi periklanan besar di tanah air. Ia tergelak saat kami menanyakan, apakah sebagai pemusik ia juga menerapkan cara berfikir seorang copywriter? “Ah! iya, bener juga, gak sadar gue! Iya, beberapa lagu gua mulai dengan pendekatan yang sama (tertawa lepas)”.

Foto oleh: Bagus Nuswantoro

Kami kemudian menanyakan perihal budaya consciousness dalam reggae menurut dirinya. Dengan tenang, ia menjelaskan bahwa beberapa karya nya memang ia lepaskan begitu saja. Dia tak perlu merasa terbebani atas otentisitas, selama ia selalu jujur berkarya. “Lagu kita bisa dimaknai apa saja oleh pendengar, kita sebagai kreator hanya bisa berserah sepenuhnya kepada pendengar” begitu ia menambahkan. Dari sesi ini, kultur akhirnya mengetahui makna di balik lagu ‘Cuma Kamu’ yang ia tulis.

“Lagu itu bisa dianggap sebagai lagu tentang asmara dua sejoli, tapi sesungguhnya gua menulis itu dari pengalaman spiritualitas gue terhadap Tuhan”.

Kemampuan Danar menulis memang menjadi sesuatu yang menarik sebagai bagian dari souljah, pada lagu di atas ia begitu cerdik menempatkan ‘anonym’ lewat kata ganti. Ia menyembunyikan sebuah pesan dalam explicitness. Ia membiarkan para penggemar mengalami sendiri emosi dari setiap lagu yang ia tulis. Kritis, vulgar mungkin bukan jalan yang ia pilih, tapi ini tidak membuktikan bahwa dia adalah seorang apatis. Ia hanyalah penulis cerdik yang memiliki koleksi diksi yang mumpuni. Ia hanya seorang penyuka puisi yang subtil menempatkan isi hati dalam beat nan catchy. Ia hanyalah seorang frontwoman yang panjang akal membuat eufoni miliknya mudah dikenal. Ia, hanya seorang penyanyi yang begitu cinta dengan nyanyian soulful. Dan..ya, SOUL dalam Souljah! 
(Sam)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

King Jammy

Edisi Khusus: Wawancara Spesial Dengan King Jammy

Manudigital

Aksi Digital Reggare Terbaik Dari Prancis

Wiro (Part 3 of 3)

Wiro dan Sentimental Moods