Wiro (Part 1 of 3)

A Sentimental Step Beyond

Ska di Indonesia pada medio 1990 an begitu gempita. Di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta begitu mudah menemukan gigs yang menyertakan banyak unit ska sebagai headliners. Kemeriahan ska saat itu lengkap dengan identitas pakaian yang dikenakan oleh para penikmat ska, serta dominasi industri dan media yang begitu eksploitatif. Hal ini menjadi sebuah dinamika, bagi penikmat musik, saat itu adalah kejayaan ska di tanah air. Namun sebaliknya, ini era kegelapan bagi para scenesters ska. Setidaknya, ini yang disampaikan kepada kultur oleh tamu kami kali ini pada bagian ke 1 dari 3 seri wawancara kami. Berikut hasil tanya jawab kami bagian pertama.

 

Pria yang lahir pada tanggal 13 Desember 1977 ini, memiliki nama lengkap Wirastomo Hizbul Wathon. Bersama band nya Sentimental Moods, telah merilis 6 single original dan kolaborasi, 4 EP dan 2 Album, juga terlibat dalam sebuah kompilasi serta serangkaian video musik. Wiro dan Sentimental Moods juga meraih penghargaan dari ICEMA pada 2012, kategori Most Favorite Group, Band Or Duo dan The Most Favorite Track tahun 2014.  Kami menganggap Ia sebagai salah satu figur penting dalam khazanah musik ska tanah air. Namun dia berkali kali menolak dan meminta kultur untuk tidak menyematkan hal itu kepadanya. 

Kami memulai pembicaraan dengan pertanyaan bagaimana ia mengenal, dan apa yang membuat nya memilih ska, dan bagaimana ia menjalaninya. Ia bercerita, awal perkenalan nya dengan ska terjadi pada tahun 1995, dengan mencuri curi kesempatan untuk menikmati siaran televisi satelit lewat antena parabola milik tetangga nya di kota semarang. Saat itu ia mengaku bermaksud mempelajari lebih jauh tentang musik trash metal melalui MTV Headbangers Ball. Namun ia justru hanya bisa menikmati siaran MTV Asia. Lewat siaran ini, ia begitu tersihir dengan Pu3SKa, outfit ska asal Filipina dengan lagu ‘Manila Girl.’ Ia menjelaskan: 

“Ini keren, gila! Put3SKA tanpa distorsi gitar, danceable banget, atraktif, beat dan musiknya ga kacangan dan keliatan amat sangat beda fashion nya. Ga kebayang kedepannya genre SKA akhirnya mengisi sebagian hidup gue.”

Dari kota Semarang, Wiro pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah. Di masa ini, ia berkenalan dengan pria bernama Magentha Hiawata (aka Genta “keotik”). Genta adalah pemuda asal Jakarta yang menjadi salah satu siswa sekolah seni di Yogya.

Bersama Genta, Wiro kerap berkunjung ke Jakarta, mereka berkumpul di kawasan Pejaten, tepatnya di TK Mini Bu Kasur (Genta merupakan cucu dari tokoh Pendidikan Nasional, Bu Kasur). Titik ini bisa dibilang salah satu episentrum punk di Jakarta. Bahkan Wiro mengamini bahwa kultur Skinhead di Indonesia bermula dari sini. Pada saat bersamaan, di kawasan Cipinang Jakarta Timur juga lahir Skinhead crew yang kemudian sempat menyebarluaskan konsep S.H.A.R.P. (Skinhead Against Racial Prejudice), yg dipelopori oleh Uzzy dan Dzukrie dari band Overcast. Lewat interaksi inilah Wiro mengenal ska lebih jauh sebagai salah satu elemen dari kultur skinhead, ia mendapatkan materi ini lewat buku Spirit of 69 “A Skinhead Bible” karya George Marshall yang dibawa oleh Utay (Adithiya Murti) dari “The End”

Melalui buku ini, passion Wiro terhadap skinhead & ska makin tinggi. Ia berburu informasi tentang ska lebih jauh, opsi yang dapat di lakukan hanyalah dengan berkorespondensi secara konvensional lewat pos dengan ST. Publishing. Wiro kemudian mendapat respon dari ST. Publishing, ia menerima banyak catalog diantaranya katalog Captain Oi! lalu Cherry Red Records dan katalog ST Publishing sendiri, yang kemudian ia jadikan referensi untuk pemahaman kultur skinhead dan ska. Tidak selesai sampai disitu, Wiro mengisahkan, ia pernah mengumpulkan uang dari mengamen di jalanan untuk sebuah titipan buku overseas via paypal lewat salah satu rekan nya Anna, seorang punk rocker asal Jerman yang sedang menetap di Yogya. Wiro menyerahkan uang recehan kepada Anna untuk buku ‘You’re Wondering Now’ karya Paul Williams. “Duitnya masih bentuk recehan, Anna kasian ngeliat kondisi itu, akhirnya yang diambil sama dia duit yg bukan recehan, sekitar 20an ribu kalo ga salah, mayan menang banyak!” Wiro tertawa mengenang upaya nya berkorespondensi demi cinta kepada ska. Selain buku sebagai sumber literasi nya, Wiro juga memilih mengumpulkan VHS. Kompilasi live gigs band ska Inggris SKA Explosion II adalah salah satu koleksinya. Dia beralasan, saat itu video lebih taktis saat internet belum banyak tersedia di Indonesia. 

Wiro

Sosok Wiro bagi skena ska tanah air begitu historis, begitu banyak strategi ia jalani sejak dahulu kala yang kini menjadi “preset” bagi banyak outfit dan scenesters ska tanah air. Namun, lagi lagi ia menolak untuk dikaitkan dengan apresiasi ini. Dengan ingatan yang tajam, kepada kultur ia menyebutkan banyak figur yang menjadi bagian sejarah perkembangan ska di tanah air. Utay “The End” menurutnya adalah salah satu sumber referensi kultur skinhead di Jakarta saat itu. Sepanjang 1995-1998, Wiro kerap mondar-mandir Pejaten-Yogya. Mendapatkan rilisan fisik dari Jakarta dan memperluas informasi tersebut di Yogya, ia kerap meminjam kartu mahasiswa teman-teman nya agar bisa mengakses internet untuk menelusuri informasi rilisan tersebut lebih jauh lagi.Di era ini ia kerap bertandang ke salah satu sahabatnya (yang 13 tahun kemudian mengajak nya membentuk band ska, Sentimental Moods) yaitu Beni Adhiantoro (Beni). Sosok Beni bagi Wiro adalah seorang natural born musician, drummer terbaik yang ia kenal. Beni merupakan salah satu personil band legendaris Sixtols, juga drummer dari Band Oi! The End, juga menjadi bagian dari band fenomenal indie tanah air, The Upstairs, The Adam, serta band HC Metal Straight Out.

Wiro menambahkan, penyebaran pemahaman skinhead di pulau Jawa (Jakarta dan Bandung khususnya) amat sangat cepat, salah satunya  berkat buku Skinhead Bible.  Sixtols dari Pejaten, walau masih mencampur ska dengan Oi! dan Skalie, band dari kawasan Cawang-Jakarta adalah yang pertama menjadi band yang terinspirasi atau bergenre ska. Hadi Skalie, personil nya adalah salah satu teman yang ia berikan copy buku ‘You’re Wondering Now’. Skalie, turut membawa ska makin marak di Jakarta melalui sebuah studio legendaris di zaman itu, Gamung Studio, yang menjadi salah satu basis Rude Boy di Jakarta saat itu. Di momen ini, Wiro dan Genta sempat mendirikan outfit Kaset SKA, yang saat itu hanya main di private party. Mereka kerap main di gigs yang digelar oleh Utay di garasi miliknya. Wiro dan Genta juga pernah tergabung dalam Keotik Rebels, kolaborasi dari masing-masing band Oi! mereka, yaitu Suburban Rebels dan Keotik Rebels.

Selanjutnya scenesters awal di Indonesia yang membantu penyebaran informasi dan referensi ska (yang masih minim saat itu) menurut Wiro adalah Mochammad Yasser (Ace The Boss) eks band ska Arigatoo yang kemudian hari berganti Souljah.

“Yasser sendiri saya percaya bertanggung jawab atas menyebarnya informasi tentang band SKA keren tradisional Hepcat era 3rd wave versi Amerika di seputaran pulau Jawa”  ujar Wiro.

Ia berkenalan dengan Yasser melalui Peter dan Kiki dari unit ska AlaskaQ.  Wiro juga menambahkan, dari Bandung (Kumbang, Sir Iyai, dan Komeng dari band Don Lego), Jogja (Heru, Bandhiez dari ShaggyDog), Solo (Aan The Mobsters), Malang (Indro Skatoopid dan Fukyu Records).

“Mereka inilah yang saya sebut sebelumnya lebih berdedikasi dan berkontribusi besar di skena SKA level grassroots, sisanya penyebaran musik SKA kemudian dibantu anak anak Hardcore yang membawa informasi SKA 3rd Wave versi Amerika, salah satunya adalah tongkrongan Subnormal di bilangan Jakarta Timur, sampai R.G.B. (Rage Generation Brothers), band unggulan Subnormal mulai merubah format musik mereka dari murni Hardcore dengan sentuhan ska, SKOINKCORE (Ska Oi! Punk Hardcore), kemudian Subnormal juga melahirkan band SKA Pinnochio yang kemudian lebih dikenal setelah masuk kompilasi fenomenal SKA Klinik.” 

Wiro menutup penjelasan nya untuk chapter ini dengan menyampaikan fakta bahwa, Setelah ska jadi terlalu booming, exposure berlebihan dan dieksploitasi habis-habisan oleh media mainstream nasional era itu, dia dan banyak scenesters sedikit patah arang.

Wiro beralasan, “Menurut saya gak mudah loh untuk menjadi seorang Rudeboy atau Skinhead karena harus paham kultur dan way of life nya sementara setelah eksposur massal dari banyak media, semua itu menjadi serba instan.”

Kembali ia menambahkan, saat itu terjadi lahir sebuah pemahaman S.H.A.M. atau Skinhead Against Media Mainstream di Jakarta. Di era “Dark Age” ini (begitu ia menyebut booming nya ska saat itu) wajar Skinhead di Jakarta sampai jengah dengan keberadaan SKA, terutama di Jakarta barat yang akhirnya kembali fokus dengan musik Oi!, Street Punk dan Hardcore. Untungnya tidak terlalu lama ya SKA berada di ranah mainstream, SKA lama2 mulai pudar di media nasional dan kembali ke ranah underground selepas tahun 2000 an.
Bersambung . . .
(sam)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Sly Dunbar

Wawancara Eksklusif Dengan Legenda Drum Dunia

Rub Of Rub

“The Fire Of The Youth”

Black Brothers

Sesi khusus kultur bersama Black Brothers