Pada edisi spesial Kultur kali ini, kami mendapat kehormatan besar dapat terhubung dengan salah satu legenda hidup musik Jamaika. Figur yang bersignature pandai berakrobatik kata-kata di setiap liriknya. Melalui sambungan video call, kami berhasil mewawancarai langsung dengan sosok yang saat ini tengah berada di salah satu negara Skandinavia dan baru saja merilis buku bertajuk “My Corona Year In Sweden 2020”.
Memulai karir bermusik sejak medio pertengahan 1970 an, Pria yang besar di Trenchtown, Kingston – Jamaika dan bernama lengkap Ripton Joseph Hylton atau yang lebih dikenali dengan nama panggung Eek-A-Mouse ini, memiliki gaya tersendiri dalam menampilkan ciri khasnya dalam berolah vokal.
Singjay (singing and deejay) merupakan salah satu element core dan sebuah signifier dalam estetika musik dancehall yang hadir pada dekade 1980 an. Typical lagu dancehall memang senantiasa menghadirkan ‘deejay singing’ atau ‘voicing’ over ‘riddim.’ Fenomena ini menjadi praktek yang lazim dalam music dancehall. Sebagai salah satu pioneer singjay yang memiliki signature unik kepada Kultur, Eek-A-Mouse mengisahkan awal mula bagaimana ia menemukan gaya khas “bang ding ding”nya. Dengan penuh tawa ia menjawab:
“Well, hanya punya saya …saya hanya melakukan Eek-A-Mouse style, you know?!, jadi begitulah, bang ding ding”
Lebih jauh ia menjelaskan kalau ia memang tidak memiliki panutan khusus serta juga tidak memiliki singjay favorit. Ia dengan penuh percaya diri dan gelak tawa menyatakan bahwa para singjay lain justru meniru atau mengikuti style/ gayanya.
“Mereka menjadi bagus karena meniru gaya saya bernyanyi, mereka mengimitasi Eek-A-Mouse, copy Eek-A-Mouse jadi mereka bagus”
Eek-A-Mouse lalu menambahkan bahwa ia tidak memiliki resep khusus dan semuanya terjadi secara alamiah saja. Ia bahkan berkelakar dengan penuh tawa kalau gaya uniknya ini lantaran ia seorang alien. Namun kemudian dengan nada seirus ia menjelaskan kalau istilah atau label seorang singjay pertama kali diperolehnya dari Roger Steffens, seorang pengarsip musik reggae yang juga memiliki program siaran radio khusus bagi musik ini. Pada dasarnya gaya menyanyi singjay “bang ding ding” untuk mengisi kekosongan diantara lirik. Seorang singjay memang seringkali dituntut untuk bisa melakukan ‘freestyle.’ Dan ketika Eek-A-Mouse melakukan itu lalu buntu dan tidak bisa menemukan lirik ia tidak mau berhenti dan lantas mengisinya dengan gaya khas “bang ding ding” miliknya ini.
“Well, semuanya terjadi secara alami…seperti ketika kau berusaha memikirkan lirik dan kau tak bisa menemukan lirik itu maka langsung saja [menyanyi] “bang ding ding…” begitulah kira-kira”
Di masa awal perjalanan musiknya, Henry “Junjo“ Lawes adalah salah satu sosok yang membuat nama Eek-A-Mouse berkibar. Latar belakang pertemuan mereka menarik untuk disimak, untuk ini, ia bicara dengan serius:
“Junjo Lawes adalah guru olahraga di sekolah saya. Lalu ia bawa saya ke studio. Ia sosok yang jenius di tahun 1974 dan kami langsung rekaman 2 buah lagu. Saya dan Junjo merekam “Wa-Do-Dem”
Sang legenda yang kini sedang menetap di Swedia, bagaikan tidak pernah berhenti membuat atau menjadi sebuah berita. Ia selalu hadir dengan energi larger-than-life, tidak hanya dalam berkarya. Ia tercatat pernah menjadi cameo dalam film “New Jack City” bersama aktor kawakan Wesley Snipes. Kepada kultur ia menceritakan kisah ini, lagi lagi dengan penuh tawa:
“Waktu itu saya tengah tampil di salah satu universitas di New York. Seseorang menghampiri saya dan berkata suka dengan gaya saya. Dia adalah Mario Van Peebles, sang sutradara. Beberapa minggu kemudian, saya dapat panggilan darinya. Saya juga mendapat tawaran untuk berperan di film berjudul “Marked For Death” yang dibintangi Steven Seagal, tapi saya tolak karena tidak cocok. Bang deng deng…!”
Mungkin energi nya inilah yang mendorong ia penuh ide, sesuatu yang selalu menjadi daya dalam talenta miliknya. Ia menjelaskan kepada kultur bahwa ide bisa datang dari mana saja, bisa tentang apa saja. Keberagaman baginya adalah sebuah hal mutlak yang harus ditegaskan. Kami meminta ia menjelaskan, apakah hal ini, salah satunya menjadi alasan dibalik lagu “D’yer Mak’er” milik band rock papan atas asal Inggris, Led Zeppelin, yang ia pernah nyanyikan? Mengingat musik rock tidak dekat dengan karakternya. Eek-A-Mouse kali ini dengan ekspresi khusyuk mengatakan:
“Ada berbagai macam jenis musik sebelum lahirnya rasta dan reggae. Disana ada Nat King Cole, Marty Robbins, James Brown dan beberapa musisi lainnya. Seseorang menawari saya untuk mendaur ulang “D’yer Mak’er” dan saya menyanggupinya.”
Masih soal energi miliknya, kita bisa telusuri lewat sederet LP penuh daya miliknya, yang antara lain “Mouseketeer” (1984), “Mouse-A-Mania” (1987), “Eek-A-Nomics” (1988), “Eeksperience” (2001), “Mouse Gone Wild” (2004) dan “Eek-A-Speeka” (2004). Bahkan beberapa waktu lalu, energi nya ini ia tuangkan dalam sebuah buku kumpulan lirik dan beberapa foto yang belum pernah dipublikasikan; “My Corona Year In Sweden 2020” (buku ini sudah tersedia dan bisa didapatkan melalui situs website: eekamousemusic.com). Kembali ia berseloroh dengan tawa yang sama kerasnya menanggapi hal ini:
“Hampir setiap hari saya menulis, menulis lagu, menulis lagu dan menulis lagu. Maksud saya, beberapa orang diluar sana menyebut dengan istilah alcoholic, drugholic dan saya adalah writerholic!
Di akhir sesi tanya jawab kami ini, ia menyampaikan pesan, yang juga ia alamatkan kepada seluruh penggemarnya di Indonesia, lagi lagi dengan tawa jenaka dan berirama:
“Tetap jadi diri sendiri, jangan mendiskriminasi golongan tertentu karena itu sebuah kekuatan, kekuatan sesama manusia. Ini pesan dari saya, Eek-A-Mouse. Bang deng deng dong deng!”
(Reporter: Keyko, Text: Keyko & Yedi, Editor & Translation: Sam)
Show Comments (0)