Cinta memang bisa membuat orang rela melakukan apa saja. Cintalah yang menggetarkan “desire” atau hasrat yang seringkali menjadi liar dan berani. Kekuatan ini yang mendasari setiap pikiran, tindakan dan kreativitas manusia.
“gak bosan-bosan aku melihatmu, dari ujung rambut hingga ke ujung kakimu, kau berjalan seperti sedang menari, berlenggak lenggok bagai seorang bidadari. Kamu yang sempurna entah dari mana bolehkah aku tahu siapa namamu? Gak bosan-bosan aku melihatmu rambutmu sebahu menambah cantik wajahmu, bergetar hatiku saat kau melihatku, berbunga-bunga hatiku melihat senyummu, kamu yang sempurna entah dari mana bolehkah ku tahu berapakah nomor HPmu? (Tontang Batek Kandik).
Ya, lirik lagu karya Joe Mellow Mood ini berkisah tentang seorang laki-laki yang tengah jatuh cinta dan mendapat energi untuk mengejar dan mengenal perempuan idamannya. Pada pemaknaan yang lain, lagu dengan blend ragga muffin ala Shaggy yang berbaur dengan unsur etnik Sasak, Lombok ini seperti mengantarkan kita pada kisah awal kecintaan sang pelantun lagu, Joe, terhadap musik Jamaika. Seperti sudah di garis oleh takdir Joe yang bernama asli Saifudin Zohri lahir tepat pada bulan yang dirayakan sebagai bulan reggae yakni Februari tahun 1975, yang juga merupakan bulan kelahiran sang idolanya, Bob Marley.
Melalui sambungan video conference bersama Kultur dengan penuh ramah ia mengisahkan bahwa banyak jenis musik yang didengarnya kala masih remaja di era 1980 an, seperti U2, Rolling Stones, Bob Dylan dan The Beatles. Namun demikian reggae lah yang nyangkut di hatinya melalui lagu-lagu Marley.
“Sebenarnya sih saya suka juga lagu lagu yang lain-lain, cuman begitu saya dengar reggae itu kaya nyangkut di hati. Apa karena musiknya, apa karena liriknya…mungkin karena kesederhanaan dari musik itu sendiri yang bikin ‘loh ini enak banget neh!”
Rasa jatuh cinta pada musik ini yang kemudian menuntun langkah untuk menjejaki perkenalannya lebih jauh kala merantau ke Bali tahun 1990 an. Di pulau dewata ia tergabung dalam grup band bernama “Legend” serta juga “Rhythm Voice” dan bermain secara reguler di sana. Mereka menjadi band pioneer di Apache reggae bar yang sangat iconic di Indonesia dan juga mancanegara itu. Di sini Joe mengasah bakat dan kemampuannya bermusik reggae, ia bahkan pernah sepanggung dengan penyanyi reggae berlabel internasional seperti Maxi Priest dan Quino (Big Mountain).
Setelah cukup lama berkiprah di Bali, Joe kemudian hijrah ke Jakarta sekitar tahun 2003. Hal ini atas ajakan sahabatnya (alm) Roy Putuhena (bassist) yang sebelumnya telah ia kenal di Bali saat melakukan konser bersama bandnya Tuff Gong pada tahun 2001. Ia bertutur kalau bung Roy hendak menjadikannya sebagai vokalis Tuff Gong menggantikan Mas Anies Saichu yang hendak pulang kampung ke Jogja. Selain itu pasca bom Bali I tahun 2002, suasana Bali sangat sepi dan mencekam untuk berbagai aktivitas, termasuk kegiatan bermusik. Joe kemudian memutuskan untuk mencari suasana baru yang bisa mendukung passionnya ini. Di Jakarta ia mulai merajut pengalaman baru bersama Tuff Gong. Bersama band ini, Joe merilis single berjudul “It wasn’t me” yang masuk dalam album kompilasi Indonesia Reggae Revolution 1 pada tahun 2005. Diluar rutinitas manggung keliling ibu kota Jakarta, Joe juga bereksperimen musik dengan Iwanouz (keyboardist), tandemnya di Tuff Gong sebelum ia bergabung ke Steven & The Coconuttreez. Kerjasama keduanya menghasilkan beberapa masterpiece bagi karya-karya Joe.
Selain itu Joe juga berkisah tentang bagaimana susah senangnya hidup sebagai musisi di Jakarta. Dari janji muluk label recording, hidup di kost-kostan hingga makan yang harus berhutang di warung. Namun semuanya ini tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap menjalani hidup dan berkarya dengan penuh “nerimo” (pasrah), sabar dan tetap semangat. Ini adalah salah satu nilai penting yang bisa kita peroleh dari reggae menurutnya. Karena baginya reggae bukan hanya soal “rebel” tapi juga kesederhanaan dan kesabaran yang akan menuntun pada terciptanya kedamaian.
“Kalau saya lebih suka ngartiinya tuh ke apa namanya, (reggae) mengajar kita untuk bersabar dan jadi apa adanya gitu aja. Seperti sederhana. Lebih ke situ, bukan dari rebelnya ya… agak terlalu keras. Jadi kalau saya lebih suka yang sederhana damai-damai aja. Semua sama , sederhana, damai aja,” demikian menurutnya.
Setelah beberapa waktu bernaung bersama Tuff Gong, Joe akhirnya memutuskan untuk merekam album sendiri. Dengan dibantu oleh rekan-rekannya dari band “Topamaure” yang sesungguhnya beraliran Top 40, ia menggarap dan merilis album reggae perdananya “Simsalabim” pada tahun 2007. Di album inilah ia mulai menggunakan moniker ‘Joe de wine’, karena sangat suka dengan lagu “Red red wine” (milik Neil Diamond, yang juga dipopulerkan oleh UB40). Selain itu agar mudah diingat oleh para fans, ungkapnya penuh tawa.
Pada akhir 2009 Joe mendapat undangan dari Aray Daulay untuk tampil pada launching album Ray de Sky di Gili Trawangan . Bersama Aray dan Iwanouz juga dalam album itu Joe bersumbangsih lewat tembang ‘misty day’. Ke Gili Trawangan merupakan sebuah “coming home” bagi Joe karena setelah hajatan tersebut Joe memilih untuk menetap dan tidak balik lagi ke Jakarta. Ia kemudian menjadi reguler player di “Sama-sama” reggae bar yang adalah milik sahabatnya pak Basok. Joe lalu hunting talent muda untuk diajak membentuk band baru. Meski awalnya terkendala karena rata-rata anak-anak yang diajak bukanlah player reggae, Joe akhirnya harus menjadi mentor untuk mengajari mereka selama beberapa waktu hingga terlahirlah band bernama ‘Joe Mellow Mood’ pada tahun 2010. Sekali lagi namanya berubah. Kali dengan alasan sahabatnya, pak Basok sangat menyukai lagu Marley yang berjudul ‘Mellow Mood.’ Band ini merilis album “Lombok Holiday” dengan komposisi unik dan menarik atas perpaduan Jamaican sound seperti roots reggae, dub, serta dancehall dengan corak etnis lewat tembang-tembang berbahasa Sasak, Lombok. Kedua kultur yang sejatinya berbeda ini terdengar begitu membaur karena menurut Joe sebenarnya musik tradisional di Indonesia, terutama di bagian timur juga sudah memiliki basic element reggae jauh sebelum adanya pengaruh luar. Seperti salah satunya pada “cop” (chop) atau skanking gitar, hanya saja ‘bass line”nya yang berbeda, begitu menurutnya.
Kultur lalu bertanya perihal suara Joe ketika bernyanyi yang sekelebat terdengar ada “role dan rough” ke arah Bob Marley dan Shaggy. Ia lantas menjawab: “Kalau Bob memang dari dulunya kan memang panutan dari awal,” sementara itu, “jenis suaranya dekat ke Shaggy jadi ah cobain Shaggy aja gitu.” Dan ketika diharuskan Kultur untuk memilih hanya dua lagu dari tiap panutannya itu, ia menyebutkan “No woman, no cry, Stir it up” (Marley) serta “Mr. Bombastic dan Angel (Shaggy) meski ia juga menyukai lagu mereka yang lain. Pengaruh kedua role modelnya ini memang sangat terasa dalam karya-karya Joe.
Saat ditanya soal perkembangan musik Jamaika baik di dunia, Indonesia dan secara khusus di Lombok, Joe meresponnya dengan positif bahwa hampir di semua tempat sama. Jamaican music berkembang dengan masif dan cepat yang seringkali menyusahkan untuk diikuti. Namun ia menaruh respect khususnya bagi semua musisi reggae di Indonesia yang terus bergeliat lewat karya-karya yang baik. Mereka yang juga adalah sahabat-sahabat dekatnya seperti Steven & The Coconuttreez, Tony Q, dan Mas Anies.
Sejak akhir tahun 2017 Joe telah menetap di Zurich, Swiss dan masih tetap di jalur yang sama untuk terus berkarya dengan menggunakan moniker baru Joesai ( https://www.joesai-music.com/about ). Kepada Kultur Joe bertutur sedang mempersiapkan dua project album. Satu album bersama band “Jameleon” dan album solo berbahasa Sasak. Salah satu lagunya berjudul “solidarity” berisi himbauan dan ajakan untuk terus waspada, “stay at home,” “stay safe” dan tetap menjalin solidaritas dalam menghadapi pandemi Covid 19. Lagu ini sudah bisa dinikmati di channel resmi Jameleon. Patut dinantikan kedua album ini bagi para pecinta reggae di Indonesia. Suatu gaya khas Joesai memadukan elemen musik Jamaika dengan infusi etnik Sasak, Lombok. SALUTE !
(yedi)
Show Comments (0)