Yanto Marapu

Inovasi Identitas Kultural

Reggae telah menjadi budaya global. Pada tahun 2018 Reggae secara resmi ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh PBB. Sebagai satu bentuk budaya, reggae seringkali diapropriasi dan dikontekstualisasikan ke dalam berbagai bentuk di hampir tiap penjuru dunia. Musiknya dipeluk dan dimainkan oleh beragam komunitas masyarakat yang luas, berbagai etnis, dan kelompok keagamaan termasuk di Indonesia. Reggae menjadi semacam penanda dalam keanggotaan citizen of the world. Dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang masif, reggae kini melesat pesat. Berbagai macam outfit bermunculan dengan aneka experiment yang kaya rasa dan nuansa unik nan khas. Tidak terkecuali salah satu grup musik reggae asal Indonesia Timur dari negeri sabana dan cendana (sandalwood). 

 

Grup ini bernama Marapu, diwakili oleh sang vokalis yang menjadi special guest Kultur kali ini. Laki-laki yang bernama lengkap Feriyanto Pekabanda, lahir di Sumba pada tanggal 10 Februari 1978 ini lebih dikenal dengan nama Yanto Marapu. Mengawali kiprahnya dalam skena musik Jamaika di tanah air sejak tahun 1999. 

Setelah lulus SMA pada tahun 1996 ia memutuskan untuk merantau dan melanjutkan studi di kota pelajar,Ngayogyakarta. Sebuah tempat yang mengantarkan nya menjadi seorang musisi dengan militansi dan konsistensi yang tinggi. Sebuah kisah yang bermula dari keisengan yang berubah menjadi passion dan profesi. Kecintaannya pada musik reggae sebenarnya sudah tertanam dalam dirinya kala masih di kampung halamannya, namun gejolak itu kian menggebu saat ia di Jogja. Intensitas komunitas Indonesia Timur saat itu yang kerap melakukan ritus pesta telah menjadi semacam kawah candradimuka dan tempat persemaian benih reggae. Pesta dan lantai dansa kelak menuntun Yanto pada panggung dan dapur rekaman. Hampir mirip dengan pola dan kisah diseminasi musik populer (dub, dancehall, ska, rocksteady, reggae) di tanah asalnya Jamaika. 

Yanto memiliki referensi reggae yang luas. Hal ini tercatat dalam kisah koleksi kaset tape yang selalu dibawa saat ia mengunjungi teman-teman untuk didengarkan dan sekedar bersantai atau diputar untuk kebutuhan pesta yang memang akan selalu meriah dengan dentuman khas music reggae yang menghentak, menggoda tubuh untuk berdansa lewat gelegar sound system. Koleksinya yang beragam didapatnya dari teman dan juga hasil tabungan uang kiriman bulanan. Koleksinya antara lain seperti Bob Marley, Peter Tosh, Burning Spear, Alpha Blondy, Lucky Dube, dan Oyaba. Nama-nama yang disebutkan inilah yang kelak menjadi patron dan penuntun Marapu menemukan posisi atau warnanya dalam peta musik Jamaika di tanah air.

Band Marapu terbentuk 10 November 1999 di Jogja. ‘Line up’ player dan juga manajer entah sudah berapa kali berganti. Menurut Yanto hingga formasi saat ini total sudah sekitar tiga puluhan orang yang pernah terlibat dan menjadi bagian dari band Marapu. Line up Marapu saat ini adalah Yanto Pekabanda (vocal), Dondho Kapita (bass guitar), Micah Johnston (drum), Ryo Santoso (rhythm guitar), Novantara Bjs (lead guitar), Domi Kia Beda (Keys) dan Arno Mariani (manajer band). Original member awal hanya menyisakan Yanto dan Dondho. Mereka berdua seolah menjadi suluh Marapu yang masih terus menyala dan menyulut api semangat untuk tetap berkarya.

Pemilihan nama Marapu sendiri adalah untuk menunjukkan identitas kultural meski menempuh jalur musik populer. Marapu merupakan aliran kepercayaan lokal yang erat dengan praktik kebudayaan di Sumba jauh sebelum masuknya agama dan peradaban modern dan masih terus bertahan hingga kini.

Walau mendapat banyak kritik soal nama ini oleh beberapa orang, terutama oleh para pemuka agama di Sumba,namun Yanto tetap kuat mempertahankannya. Menurutnya mengkafirkan kepercayaan dan kebudayaan Marapu merupakan cara pandang yang sempit dan justru akan mereduksi atau bahkan melenyapkan kekayaan budaya Sumba. Kini berangsur cara pandang ini mulai berubah dengan telah diakuinya Marapu secara administratif menjadi kepercayaan lokal yang bisa dicantumkan dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan buku ‘report’ anak sekolah. “Tidak perlu ‘menjudge’ (menghakimi) karena pada kenyataannya semuanya bisa berjalan bersama” demikian Yanto menambahkan.  

Budaya Marapu yang membangun keselarasan antara manusia, Tuhan dan alam menurut Yanto mirip dengan Rastafari di Jamaika. Secara musikal, aksentuasi ‘beat’ Rasta drumming yang menjiwai reggae mirip dengan ketukan 4/4 kendang gong pengiring tari di Sumba seperti ‘kabokang’ dan ‘kandingang.’ Element inilah yang menurutnya membuat reggae punya potensi untuk membaur dengan musik tradisional.

Yanto Marapu

Meski Marapu dikenal sebagai band asal Sumba, namun sangat identik dengan kota Jogja. Atmosfer dan aura seni dan budaya yang kuat seolah memberi hasrat daya cipta bagi Marapu yang telah menggeliatkan gairah musik Jamaika dan menghasilkan sebanyak tiga album dalam rentang waktu tiga belas tahun bermukim di kota ini. Yaitu album ‘The Color’s’ (2006), ‘Peace, Love & Freedom’ (2009), dan ‘Terang Dunia’ (2011). Namun pada tahun 2012 dengan berat hati Yanto meninggalkan Jogja yang baginya sudah seperti rumah kedua. Ia memutuskan untuk mencoba tantangan baru dengan menetap di Bali. Menurutnya selain sudah sangat menyukai Bali sejak lama, suasana kehidupan di Bali memang sangat menjanjikan bagi reggae. Dari sini ia berharap gaung Marapu bisa lebih luas lagi. Dan ternyata perlahan namun pasti itu mulai terasa, dimana Marapu kini memiliki seorang manajer asal Perancis. Album mereka yang keempat ‘Won’t be fooled’ (2018) juga bekerja sama dengan label distribusi asal negara mode ini. Pentas live Marapu juga mulai merambah kota-kota di negara Asia Tenggara dan Australia. Dari sekian banyak pentas di berbagai tempat yang pernah disinggahi Marapu, adalah kota Melbourne yang memberi kesan mendalam bagi Yanto. Hal ini karena sambutan luar biasa dan antusiasme penonton yang tak terduga ketika melihat performance otentik Marapu membawakan musik perpaduan reggae dan etnik. Sugesti entertainment ala Marapu berhasil memecah riuh penonton yang tak dapat dilakukan oleh band penampil sebelumnya walau mereka tampil mengintimidasi dengan peralatan musik yang lengkap seperti brass session dan dimainkan dengan partitur. Marapu lantas diminta tampil sekali lagi keesokan harinya karena penampilan memukau mereka.  

Setelah meninggalkan Yogyakarta dan kini menetap di Bali, serta selalu menceritakan tentang keindahan dan pesan kultural dari Timur Indonesia, membuat Yanto makin erat dengan figur seniman berlatar belakang sosial budaya nan plural. Hal ini bagaikan variabel penting baginya untuk bisa melihat identitas dirinya lebih baik lagi.  Setidaknya itu nampak dalam ciri khas band Marapu yang senantiasa menyerukan “back to your roots.” Upaya pencarian identitas itu nampak dalam warna roots reggae yang dipadukan dengan nuansa etnis Sumba, Papua dan juga Bali, yang sejauh ini menjadi sebuah infusi menarik dalam lagu lagu Marapu seperti ‘Eri Rambu,’ ‘Kawarine,’ dan ‘Putri cening ayu.’  Yanto menambahkan bahwa ia punya keinginan untuk lebih banyak lagi interpretasi dan rendition lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya dari tanah kelahirannya, Sumba. Ia ingin tetap menjaga notasi asli lagu tradisi dan kemudian memadukannya dengan reggae. Ini menjadi cita-citanya yang masih belum kesampaian. Ia ingin menggelar konser musik yang tidak hanya menampilkan reggae tetapi juga berbagai musisi tradisional  lengkap dengan tari-tariannya, semua dalam satu panggung.

Selain berorientasi etnik, Marapu juga menempatkan persoalan sosial dan humanisme sebagai narasi dalam repertoire mereka. Lagu-lagu Marapu juga menjadi corong ‘social commentary’ atau kritik dengan cara yang lebih elegan. Ini sangat terasa terutama di album ke empat, yang menurut Kultur, lebih lugas dan tegas dibandingkan album-album sebelumnya. Seperti dikisahkan Yanto, lewat hits album ini, ‘Politician,’ mengecam keras oknum-oknum politisi korup dalam menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Yanto menghardik tanpa bermaksud mendiskreditkan pelayanan dan profesi yang seharusnya mulia ini. Menurutnya di luar sana masih ada politisi baik yang memberi secercah harapan. Sementara lagu ‘Our homeland’ terinspirasi persoalan privatisasi dan penjualan tanah ulayat rakyat di Sumba untuk proyek-proyek besar yang memarginalkan mereka. Serta juga lagu ‘Educate yourself’ dalam menyoroti persoalan ‘human trafficking’ atau persoalan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang memang sangat banyak berasal dari wilayah NTT (Nusa Tenggara Timur) di mana rata-rata dari mereka sangat minim pengalaman dan pendidikan sehingga terjebak dalam eksploitasi, pelecehan, dan perbudakan. Suatu bentuk dukungan moril Marapu bagi para relawan independen yang menangani persoalan ini. Baginya pendidikan adalah kunci bagi kebebasan berpikir agar tak mudah dibodohi dan diperalat. Lebih jauh Yanto berharap melalui musik reggae yang ia bawakan bisa memberi perubahan meski tidak bisa serta merta berdampak langsung dan terasa. Paling tidak ia bersuara dan tetap konsisten untuk suatu perubahan yang lebih baik terutama bagi Indonesia Timur seperti lagu yang dinyanyikan bersama Conrad Good vibration dalam kolaborasi cover akustik lagu ‘Suara kemiskinan.’

Ketika Kultur bertanya “Siapa saja kira-kira tandem kolaborasi idamannya?” Yanto secara yakin menyebutkan tiga nama. Kalau dari Indonesia, ia ingin berkolaborasi dengan Joe Mellow Mood, reggaeman asal Lombok yang kini berdomisili di Swiss. Dan untuk kolaborasi etnik, Yanto menyebut nama Rambu Ata Ratu, seorang ‘mama’ (ibu) maestro tembang-tembang tradisional Sumba. Sementara untuk level internasional, ia bercita-cita bersanding dengan Chronix. Penyanyi Jamaika yang komplit menurutnya, menjadi panutan reggae masa kini. Kombinasi elemen R & B, gospel, roots dan dancehall menjadikannya semacam reggae postmodern yang klasik tapi penuh inovasi dan kekinian.

Kultur bertanya “Apa capaian berkesan seorang Yanto Marapu sepanjang karir hingga saat ini?” Dengan bersahaja ia menjawab bahwa pencapaian berkesan itu adalah independensi dalam berkarya. Tidak lagi dikejar target namun terus produktif berkarya secara bebas tanpa tekanan.

“Bukan persoalan berapa saya kaya dari musik, berapa saya terkenal. Buat saya, punya kepuasan tersendiri untuk pencapaian ini. Dan harapan saya itu, semoga kita bisa berkarya dan bisa memberi sesuatu buat orang”

Ditanya apakah ia memiliki pesan atau ajakan untuk pecinta musik reggae, Yanto menjawab bahwa: “Saya pikir pecinta (reggae) terus dengar musik reggae. Yang pasti [tertawa] Jangan bosan-bosan dengar reggae! Trus kedua, bagi pelaku reggae, terus berkarya, tidak boleh peduli apapun bentuk karya kita, yang pasti selalu positif dan satu kata kunci, selalu konsisten. Seberapapun talent kita tapi kalau kita tidak konsisten saya pikir percuma. Dan saya kira sekarang sangat dimudahkan dengan social media. Youtube segala macam. Sangat dipermudah. Jadi terus berkarya, jangan pernah takut.”

Marapu telah merilis single terbaru, “Welcome to Sumba” yang sudah tayang di Marapu Music Channel: tanggal 18 November lalu dan telah tersedia di semua digital platform. 

Sebuah sajian spesial dari Marapu bertepatan dengan 21 tahun perjalanan mereka. Jaya selalu Marapu bersama pesan kultural dan kesadaran sosial nya! “KAYAKAYA!” (salam khas laki-laki Sumba).
(penulis: yedi; editor: Sam)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Eek-A-Mouse

Edisi Khusus: Wawancara spesial dengan Eek-A-Mouse

Horace Panter

Wawancara spesial bersama musisi pemilik banyak bahasa seni. Musisi spesial, Horace Panter.

Masia One

Sesi wawancara dengan Sang Empress dari Asia Tenggara