Jenggo

Kampiun Dari Distrik Johar Baru

Tamu kultur kali ini adalah seorang musisi serba bisa dari sebuah outfit asal Johar Baru – Jakarta Pusat. Ia dikenal sebagai salah satu scenesters sibuk dengan beragam music act yang ia jalani dan ia kerjakan. Lewat sambungan panggilan video kami mewawancarai nya. Berikut hasil rangkuman kami bersama Jenggo.

Memulai pembicaraan kami, ia menuturkan perkenalan nya dengan musik Jamaika. Menurutnya, hal ini adalah sebuah ‘kecelakaan’. Saat itu, Jenggo yang dekat dengan musik-musik punk secara tidak sengaja menemukan rekaman ‘Ska Authentics’ dari The Skatalites melalui koleksi album album musik dari salah seorang teman nya. Dari sini, ia seperti mendapatkan energi berkesenian yang kemudian menjadi karirnya.

Ia membentuk outfit musik yang kini dikenal sebagai salah satu unit musik Jamaika asal Jakarta dengan fanbase yang massive; Monkey Boots. Saat itu, Bersama Ewok, Sake dan Alay Error, Jenggo membidani kelahiran Monkey Boots. (Selain Alay, Ewok & Sake kini tetap bertahan sebagai personil dari band ini). 

Jenggo lebih lanjut melakukan eksplorasi tentang ska. Ia mulai belajar memainkan trumpet. Meski kemudian ia lebih aktif memainkan harmonika dengan repertoire dari The Specials saat itu. Jenggo mengingat, saat itu ia mendapatkan referensi setelah membaca ‘Buku Suci’ karya George Marshall, ‘Spirit Of ‘69’

“Gua mulai cari-cari referensi, sampai akhirnya gua menemukan sebuah halaman yang menulis tentang Judge Dread and The Last Skinhead.”

Karya pertama Jenggo bersama Monkey Boots adalah lagu ‘Jakarta’ (circa 2004-2005) ia berperan sebagai penyanyi utama pada lagu ini. Lagu ini dibagikan secara cuma cuma lewat jejaring sosial pada saat itu. Yang ternyata, mendapatkan response luar biasa, selanjutnya, kisah ini menjadi pembuka sejarah perjalanan band ini. 

Monkey Boots bagi Jenggo adalah ruang seni personal nya. Dia menuangkan segala passion nya pada unit musik ini, sebuah unit yang ia sebut sebagai manifestasi attitude berkesenian. 

“Bagaimanapun, gua akan menjalankan Monkey Boots. Bagi gua, Monkey Boots adalah suatu kisah yang akan gua bagi di masa depan”

Ia sempat meninggalkan Jakarta pada tahun 2006 hingga 2009. Hal ini membuatnya tidak hadir bersama Monkey Boots untuk beberapa saat. Namun ia kembali bergabung saat merilis debut ‘Big Monkey’ (2010), di album ini ia berperan sebagai pemain trumpet. Vokalis monkey boots saat itu adalah sang Indonesian Prince Of SkaDenny Frust. Pada album sophomore mereka, ‘Interaksi’ (2015), Jenggo beralih menjadi pemain keyboard. Baru pada 2016 Jenggo kembali lagi sebagai frontman untuk band ini.

Monkey Boots, daya dari Johar Baru

Sebagai frontman yang juga menulis lirik lagu untuk Monkey Boots, Jenggo menjelaskan bahwa ia terus berlatih. Menulis baginya adalah tugas utamanya. Ia bercerita, banyak karya yang ia hasilkan berasal dari spontanitas ide yang ia kumpulkan, hingga menjadi satu kesatuan lagu yang utuh.

Jenggo, sebagai salah satu scenester asal Ibukota ini dikenal sebagai seorang multi instrumentalis. Hal ini tidak hanya tertuang dalam Monkey Boots. Kepada Kultur, Jenggo membocorkan bahwa untuk lagu ‘Berdetak’ dari Monkey Boots dia ciptakan melalui ukulele. Di lagu ini ia memainkan melodica alto. Ia juga tercatat bermain mandolin untuk sebuah unit Oi! berbudaya asal Jakarta Timur, Tenholes

Manifestasi energi dari karya Jenggo terus mengalir, saat ini ia adalah Singjay dari salah satu dub act penuh pesona yang dimiliki Indonesia, Aset Negara. Ia berbagi vibrasi bersama Boris, salah satu figur penting dalam skena Jamaican Sound di tanah air. Dub act ini telah merilis dua single sejak 2020 lalu. Baru baru ini mereka merilis ‘Illegal Sound’ sebuah debut EP. 

‘Aset Negara’ (Boris & Jenggo)

Bagi Jenggo, berkenalan dengan musik dub juga sebuah kecelakaan. Berawal dari sebuah album yang penuh pengalaman halusinasi aural milik King Tubby; ‘The Legendary Skatalites in Dub’ dari sahabatnya. Ia langsung mencintai nya. Dari sini ia kemudian menemukan influence baru dalam bernyanyi. Selain John Holt, Barry Biggs dan Sharon Forester, Jenggo menambahkan ia menyukai Joshua Water Rudge (The Skints), Macka B dan gaya bernyanyi Bigyouth pada lagu ‘Sky Juice’.

Bersama Aset Negara, Jenggo mengamini bahwa manifestasi seninya terdengar lebih dewasa. 

“Sebenarnya, di Monkey Boots juga mendewasakan diri dari karya demi karya. Tapi memang eksplorasi di Aset negara lebih bebas, tanpa batasan ide, semua bisa mengalir deras”.

Kebebasan berekspresi inilah yang menjadi pertimbangan Jenggo untuk menjalankan dub act ‘Aset Negara’. Sebagai salah satu sarana baginya untuk menuangkan hasil latihan menulis yang kerap ia lakukan. Hal ini ia sampaikan kepada Boris & Bedul saat menerima ajakan bergabung bersama Aset Negara.

Seraya tertawa ia bercerita, “Gua memang minta kebebasan menulis apapun yang ingin gua tulis (bersama Aset Negara). Meski akhirnya, secara teknis Boris sering memberikan input dalam bernyanyi.”

Bersama Aset Negara, ia berekspresi begitu penuh daya. Jenggo adalah salah satu frontman dari unit musik Jamaika asal Indonesia yang begitu petah lidah dalam melafalkan creole Jamaika; Patois/Patwa. Dengan bijaksana ia menjelaskan bahwa langkah ini hanyalah sebuah pendekatan produksi. Ia mengaku tidak secara khusus menuliskan pesan pesan filosofi di dalamnya. 

“Acquiring saja, dari alam bawah sadar ingin menulis (lagu/lirik), jika ternyata (lagu/lirik) itu membawa sebuah pesan, maka itu pesan yang keluar begitu saja” begitu ia menjelaskan kepada kultur

Bagi kultur, Jenggo memang menjadi salah satu sosok yang menarik dari skena Jamaican sound di tanah air. Selain ia adalah seorang multi-instrumentalis, dia adalah salah satu figur dengan pendekatan produksi yang cukup eksepsional. Infusi falsetto yang ia lakukan pada banyak karya nya adalah salah satu contoh manis dari begitu luasnya referensi yang ia miliki – mengingat belum begitu banyak outfit jamaican sound di tanah air melakukan ini. 

Ia juga cerdik dalam menuangkan cuplikan cuplikan fenomena sosial di sekitarnya ke dalam lagu. Misalnya, ia tidak mengambil pusing saat TikTok begitu suggestive memberikan tontonan bagi banyak orang dewasa. Namun, ia menggarisbawahi teruntuk anak-anak, TikTok akan menjadi penyumbang besar atas minimnya jiwa jiwa kritis di masa depan. Lalu dengan nuansa satire, ia menceritakan tawuran antar kampung di Jakarta yang kadang menjadi tontonan, bagaikan sebuah entertainment bagi anak-anak di sekitar kawasan tersebut. Ia menulis dua potret tersebut pada lagu Inna Ghetto’ dan ‘Outta Stock’ bersama Aset Negara.

Jenggo.

Meski banyak ‘kecelakaan’ yang mengantarkan nya berkesenian, Jenggo begitu tulus dan penuh cinta menjalankan passion nya ini. Mungkin ini salah satu alasan mengapa ‘Big Monkeys’ (sebutan untuk para penggemar Monkey Boots) begitu massive. Karya Jenggo sukses menarik hati mereka. Menanggapi ini, ia menjelaskan bahwa para Big Monkeys begitu berarti baginya. 

“Apresiasi adalah hadiah tertinggi yang dimiliki oleh para seniman, Big Monkeys adalah wujud dari semua hal tersebut bagi gua”.

Harmoni dan melodi dalam komposisi, serta pekatnya vernakular dalam langgam miliknya merupakan karya dewasa yang berbungkus passion dari Jenggo. Bersama hal-hal tersebut, ia telah mengantarkan sebuah variabel istimewa dalam khazanah musik musik Jamaika di Indonesia. Ia turut menyumbangkan sentuhan musik yang prima di antara banyak karya yang sudah tersedia dari para rekan rekan musisi sebelumnya menjadi makin variatif. Nilai bersahaja dari figur dari Johar Baru ini, menjadi dasar argumen dari kultur yang sukar untuk tidak meletakan opini bahwa: Jenggo adalah salah satu suara kampiun dari jajaran musik musik Jamaika di tanah air!
(sam)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Chris Foreman

Edisi Khusus: Wawancara Spesial Dengan Chris Foreman

Black Brothers

Sesi khusus kultur bersama Black Brothers

King Jammy

Edisi Khusus: Wawancara Spesial Dengan King Jammy