Sister Mary Ignatius Davies

Warisan abadi seorang Ibu

Bayangkan sebuah aula penuh gema trombon, saksofon, dan tiupan melodi yang terbungkus dalam bayang seorang biarawati—Sister Mary Ignatius Davies. Sosok religius sekaligus katalis lahirnya genre musik Jamaika legendaris: ska, reggae, dan rocksteady. Ia hadir sebagai pendidik yang juga menjadi mentor, ibu, dan pengaduk nada yang menyalakan kreativitas dari meja belajar hingga studio legendaris, dari lapangan bermain di sekolah hingga panggung akbar kelas dunia. Selamat membaca ‘special issue’  tentang peran sentralnya dalam sejarah musik Jamaika!

Formasi Disiplin dan Estetika di Alpha Boys’ School

Lahir di Innswood, Saint Catherine Parish, Jamaica, pada 18 November 1921, Marjorie Agnes Davies bergabung dengan Sisters of Mercy pada usia 17 tahun pada 1 Februari 1939, dan kemudian dikenal sebagai Sister Mary Ignatius Davies. Dedikasinya terhadap Alpha Boys’ School berlangsung hingga akhir hayatnya pada 9 Februari 2003, menjadikannya figur kunci dalam pendidikan musik dan kehidupan anak-anak kurang beruntung di Kingston. Ia memasuki Alpha Boys’ School pada Februari 1939 sebagai anggota Sisters of Mercy, mengabdikan seluruh hidupnya bagi lembaga itu hingga akhir hayatnya. Sejak pertengahan abad ke-20, ia memimpin program musik sekolah dan menjadi administrator dengan dedikasi, membimbing para siswa memainkan instrumen brass, drum, piano, hingga berbagai instrumen lainnya.

Sekolah ini sendiri berdiri sejak 1880, dengan formasi bandnya (drum & fife, kemudian brass band) sudah eksis sejak 1892–1908. Sister Ignatius memahami bahwa musik adalah jalan keluar bagi “wayward boys”—anak-anak yang kehilangan keluarga dengan perjalanan hidup yang belum menentu. Ia mengajarkan banyak hal mendasar, dari notasi: disiplin, harapan, dan ‘survival instinct’ melalui musik. Rekan-rekannya mengenang bagaimana ia juga mengajar olahraga, dari cricket, sepak bola, tinju, hingga domino dan tenis meja, bahkan sering ikut bertanding bersama siswa dalam busana biarawati.

Arsitektur Bunyi: Dari Aula Alpha ke Dunia

Sister Ignatius meletakkan fondasi musikal bagi seluruh ‘alpharians’ dengan disiplin yang kokoh. Ia membimbing banyak musisi besar Jamaika melalui metode yang sederhana namun efektif. Setiap akhir pekan, ia menggelar sesi mendengarkan musik yang bukan hanya menjadi sarana belajar, tetapi juga hiburan bagi komunitas sekaligus sumber dukungan bagi sekolah. Dari sinilah para siswa mendapat pengalaman langsung tentang performa, ritme, dan teknik produksi musik. Sebagai bagian dari praktik, para murid bahkan ditugaskan membeli rekaman dari berbagai genre—mulai dari klasik, jazz, Latin, hingga R&B—untuk dijadikan bahan pembelajaran (Augustyn & Reeves, 2015; Katz, 2003; BBC Radio 2 – Island Rock). Sejarah juga mencatat keterlibatan Sister Ignatius dalam mengelola Mutt and Jeff Sound System, yang sebelumnya dimiliki salah satu alumni ‘alpharians,’ Kenneth Davy. Dari ruang belajar ini pula lahir kisah monumental: akhir pekan di sekolah menjadi momen pertama Winston ‘Yellowman’ Foster memegang mikrofon—sebelum kemudian menjelma menjadi megastar dunia.

Lahirnya Originalitas dan Struktur Kebudayaan Jamaika Modern

Dari kelas musik dan sesi Sabtu tersebut juga muncul musisi musisi legendaris: Tommy McCook, sang sonic legend; Don Drummond, Johnny “Dizzy” Moore, Rico Rodriguez, serta Leslie Thompson, terompetis Jamaika yang menjadi salah satu musisi kulit hitam pertama aktif di orkestra besar di Inggris dan mendirikan band swing The Jazzmen pada 1930-an (Augustyn & Reeves, 2015). Alumni lainnya termasuk Joe Harriott, Wilton Gaynair, Harold McNair, Alphonse “Dizzy” Reece, Eddie “Tan Tan” Thornton, Leroy “Horsemouth” Wallace, Winston “Sparrow” Martin, Cedric “IM” Brooks, Johnny Osbourne, Leroy Smart, dan Vin Gordon. Semua ini menunjukkan dampak besar Sister Ignatius dalam membentuk generasi musisi Jamaika (BBC Radio 2 Island Rock, 2015).

Dari pengaruh Sister Ignatius lahir Skatalites, band pionir yang menjembatani perjalanan musik Jamaika dari jazz menuju ska, rocksteady, hingga reggae. Perannya membuatnya dijuluki “Mother of Jamaican Popular Music,” “Mother of Ska,” bahkan “Mother Teresa of Reggae”—sebuah penghormatan komunitas, meski bukan gelar formal (The Guardian, 2003; Augustyn & Reeves, 2015). Pengakuan resmi akhirnya datang pada 1996, ketika Pemerintah Jamaika menganugerahinya Badge of Honour, menegaskan statusnya sebagai mentor penting generasi musisi Jamaika.

Sister Ignatius tidak hanya memberi bekal musik yang kokoh bagi para ‘alpharians’ melalui sesi akhir pekan, tetapi juga menyalakan disiplin dan semangat berlatih yang membentuk musisi legendaris. Don Drummond, misalnya, dikenal berlatih tekun di bawah pohon penuh mitos ‘Monkey Tree Tamborine’ berkat dorongan dan referensi musikal darinya. Dari ruang kelas hingga halaman sekolah, ia menjadi sumber yang mengalirkan energi kreatif dan membentuk fondasi bagi musik Jamaika yang kelak menggema ke seluruh dunia.

Keyakinannya untuk merangkul mereka yang kurang beruntung berakar pada kasih seorang ibu. Melalui perpaduan pendidikan formal, mentorship yang hangat, dan inovasi kreatif, Sister Mary Ignatius Davies meninggalkan jejak abadi. Warisan itu kini hidup dalam setiap irama ska, reggae, dan rocksteady—musik yang terus dinikmati lintas generasi dan menembus batas geografis, menjadikan namanya tak terpisahkan dari denyut nadi budaya yang datang dari Jamaika, untuk dunia!

(Teks: Keyko, Editor: Sam)



  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Joseph Hoo Kim

Melihat kebelakang tentang Joseph Hoo Kim (Channel One)

Shaggydog: Cerita Dari Sayidan

Kejayaan dari gang gelap di Yogyakarta

Founding Fathers (Jamaican Sound System Culture) Pt. 1

Kultur sound system, sebuah pengantar