Reggae Rhizome

Asli atau Palsu?

Masalah otentisitas masih menjadi isu yang senantiasa mengemuka dalam skena musik reggae. Meski merupakan dua hal yang berbeda namun reggae kemudian menjadi sinonim dengan Gerakan spiritual Rasta melalui tokoh-tokoh seperti Bob Marley, Peter Tosh, dan Bunny Livingstone. Awalnya para tetua Rasta yang konservatif menentang musik reggae yang dianggap sekuler dan mendegradasi spiritualisme Rasta. Namun, di lain sisi banyak yang berdalih reggae menjadi media perlawanan dan diseminasi Rasta yang efektif dan efisien ketimbang khotbah dan pamphlet. Reggae diklaim sebagai musik pembawa pesan dari kaum yang tertindas (music of the sufferah). Ia Adalah musik revolusioner yang kehadirannya merepresentasikan semangat paska kolonial dari masa 400 tahun perbudakan. Sebuah counter hegemoni ‘Babylon.’ Namun seiring berjalannya waktu, proses eksposure yang massif terhadapnya berimplikasi pada apropriasi yang tak terhindarkan dan menjadi perdebatan yang terus berlanjut hingga hari ini. Wacana tentang keaslian dalam reggae seringkali bersifat paradoks dan problematic.      

Di bawah korporasi kapitalis dari bisnis musik (label rekaman, EO, Parawisata) musik reggae menanggung konsekuensi logis dari popularitasnya. Pada awal kemunculannya, para musisi Jamaika kebanyakan merupakan para ‘rude boys’ atau muda-mudi miskin dari wilayah ghetto yang menegosiasikan idealismenya demi upaya untuk keluar dari himpitan ekonomi yang mencengkram. Mereka akhirnya harus bersikap pragmatis terhadap sisi predatorisme industry musik yang mengeskploitasi kapital budayanya. Namun terlepas dari polemic hubungan yang penuh prejudis antara para artis dan stakeholder bisnis musik, reggae akhirnya go internasional. Label rekaman saat itu seperti Trojannya Lee Perry, JADnya Danny Sims, dan terutama Island recordsnya Chris Blackwell berupaya mempackaging reggae sedemikian rupa agar bisa diterima oleh audiens yang masih awam. Meski banyak ditentang namun pada kenyataannya sebenarnya telah terjadi hubungan symbiosis mutualisme, layaknya kumbang dan kembang. Masing-masing saling membutuhkan untuk terus survive. Kumbang membutuhkan serbuk sari sebagai makanannya dan kembang membutuhkan kumbang untuk perkembang-biakannya. 

Lebih jauh lagi, semangat paska kolonial yang dibawa oleh generasi Windrush turut bersumbangsih meruntuhkan hegemoni sang slave master tepat dipusat kekuasaannya. Budaya popular Jamaika seperti sound system, ska, rocksteady dan reggae membuat kaum kelas pekerja kulit putih Inggris jatuh cinta padanya dan mempengaruhi munculnya kelompok subkultur skinhead, the mods dan punk. Fenomena kontak budaya ini melahirkan gaze baru melalui kemuculan 2 tone ska atau ska-rock oleh grup seperti The Spesials, The Selecter, Madness, and the Beat. Hal ini memantik berbagai proses perkembangan yang terus terjadi seperti dentuman sound system dari Notting Hill Carnival ke pesta-pesta underground menjadi melting pot melebur batas-batas rigid rasial yang memunculkan dubstep, drum and bass, jungle hingga loversrock. Inggris memang telah menjadi gapura reggae menuju dunia. Sementara itu di Amerika Serikat sebagai barometer pasar global, reggae kurang mendapat respon yang positif. Dalam tulisan Roger Steffens, Bob Marley mengalami kewalahan untuk meyakinkan audiens Amerika, terutama Masyarakat kulit hitam di sana yang kurang responsive terhadap reggae. Berbagai strategi dilakukan, mulai dari menunjuk Kembali Danny Sims sebagai manajer, menjadi band pembuka bagi the Commodores, menginfusi unsur disco ke dalam repertoirnya (track ‘could you be loved’), dan bahkan rela membayar jam tayang di radio-radio kulit hitam (black radio stations).  

Fakta lain menunjukkan bahwa reggae justru disambut dengan baik oleh audiens kulit-putih di luar Jamaika. Proses apropriasi oleh Musisi-musisi kulit putih antara lain seperti The Spesials, The Police, Erick Clapton dan UB 40 telah semakin membantu penyebaran kultur reggae worldwide. Kurang dari satu decade setelah upaya Marley, gelombang kebangkitan ketiga ska melanda Amerika dan memunculkan band-band seperi No Doubt dan Sublime.   Sebuah pencapaian yang memiliki konsekuensi logis yang tak terelakkan. 

Proses komodifikasi dan eksposur audiens kulit putih Euro-Amerika menunjukkan kecenderungan untuk mengadopsi materi yang berorientasi pada kualitas permukaan reggae yang menyenangkan secara estetis dari pada konten musik yang secara eksplisit politis atau lebih deep. Conscious reggae dianggap terlalu berat untuk mereka yang menginkan sesuatu yang lebih easy listening dan ringan di lantai dansa. Selain itu Bahasa Patois yang kental telah membuat Sebagian pendengar non-Jamaika gagal paham akan apa yang dinyanyikan. Banyak yang hanya menjadi fetish terhadap style musik dan performatifnya saja tanpa menaruh perhatian pada pesan yang disampaikan. Selain itu, ideologi liberal telah mengkooptasi militansi revolusioner pan-Afrikanisme dalam reggae. Sikap rebellious dan semangat Africa Unite diubah menjadi musik persatuan universal yang cinta damai. UNESCO bahkan telah menetapkan reggae sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2018 karena nilai-nilai universal ini. Sementara itu pemerintah Jamaika sendiri telah menggunakan taktik adjustment untuk mengubah reggae dan Rasta menjadi eksotisme budaya Jamaika yang menjadi daya Tarik turisme. Cover albumnya Erick Clapton 461 Ocean Boulevard yang terdapat track “I shot the sheriff’ menampilkan pohon kelapa sebagai highlight teks visualnya. Penekanan visual ini mengasimilasi symbol tropis yang mengidentikkan sisi appealing sonic reggae sebagai musik Pantai dan Santai. Sebuah resonansi imajinasi yang terus terbawa sampai saat ini.    

Erick Clapton 461 Ocean Boulevard. Sumber: discogs.com

Ekspansi Era Digital 

Kematian Bob Marley tahun 1981, menjadi penanda transisi era reggae roots yang organic ke era digital. Kemajuan teknologi telah memudahkan replikasi mekanisme reggae, membuka jalan bagi kebangkitan Kembali kultur sound system dan kemunculan subgenre digital seperti dancehall yang energetic dan cepat dengan lirik-lirik yang provokatif, kasar dan seringkali vulgar. Untuk ulasan yang mendetail kalian bisa baca issue kultur sebelumnya tentang dancehall. 

Ada yang beranggapan bahwa aplikasi teknologi (drum machine, sequencer, samplers) dan berbagai plug in yang memanjakan menciptakan fabrikasi music yang soulless dan homogen. Estetika reggae terfragmentasi dan menunjukkan disintegrasi teks reggae. Hal ini juga merupakan ekses dari komodifikasi, di mana reggae dibawakan dalam beragam selera dan cara yang berbeda-beda sehingga dituduh mengabaikan akar asal-usulnya serta makna dan fungsinya yang lebih dalam. Namun di lain sisi, secara ontologis hal ini justru menunjukkan sifat kecairan budaya yang tidak bisa dibendung, sebuah proses becoming yang menjadi nafas dari semua keberadaan termasuk juga musik. Bagaimana kita melihat penyebaran reggae dalam pandangan yang lebih kekinian, yang tidak bersifat arboresent, pohon yang memiliki akar tetapi melihatnya lebih seperti jejaring rimpang yang menyebar ke segala arah, membentuk kumpulan-kumpulan baru. 

Era Jejaring Sosial

Logika rimpang ini bisa sangat menggambarkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bagaimana segala sesuatu bisa dengan cepat diterima dan disebarkan lewat platform media sosial. Kita memasuki suatu era yang dikuasai oleh rezim algoritma, dimana Masyarakat terstratifikasi bukan berdasarkan kelas sosial tetapi berdasarkan jumlah follower dan viewers. Orang berlomba-lomba untuk mendapatkan jangkauan eksposure yang luas demi menjadi hipe atau viral. Hal ini sangat berpengaruh dan mendikte cara kerja segala sesuatu termasuk proses kreativitas dan produksi musik reggae. Identitas menjadi samar dan mudah berganti dengan cepat. Sebagai contoh, para fans reggae akan bertanya-tanya, bagaimana Burnaboy bisa masuk dalam lineup Summerjam dan bersanding bersama reggae roots legend seperti Steel Pulse namun kemudian mendeskreditkannya? Fenomena Afrobeat memang tengah menjadi trend menyaingi popularitas dancehall dan bahkan telah jauh mengalahkan reggae roots. Hal ini menunjukkan kesenjangan dan diskriminasi sebagai ekses dari rezim algoritma. Pesan tidaklah menjadi penting dibandingkan dengan sensasi dan jumlah viewers dan followers.  

Reggae di Indonesia

Perlu diakui bahwa jenis reggae yang sampai ke Indonesia dan perkembangannya hingga saat ini juga merupakan hasil kooptasi dan polarisasi dari industry musik Euro-America yang renggang dari konotasi politis, spiritual dan revolusioner. Proses eksposur Masyarakat Indonesia pada reggae sedari awalnya (1980an-1990an) diperoleh dari hasil kurasi media (elektronik dan cetak) yang bias komoditas melalui artis-artis non-Jamaika yang apolitis. Sisi militansi reggae memang didepolitisasi oleh pasar sejak melakukan cross-over ke luar kesakralan teritorialnya, melahirkan beragam musik pseudo (semi)-reggae seperti reggae-pop, reggae-rock, reggae-disco, hingga reggae-hip-hop. Reggae dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan cocok untuk dipakai berdansa seperti yang dilagukan oleh Melky Goeslauw dan Nola Tilaar, “Mari dansa reggae”. 

Selain itu reggae di Indonesia juga dimaknai sebagai musik pemersatu dan pecinta damai, meredam potensi konflik Masyarakat yang beragam lewat semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ (Unity in Diversity). Sosok yang terus menggemakan perdamaian dengan balutan musik reggae-etnik adalah Mas Tony Q. 

Selain musik etnik, masyarakat Indonesia umumnya memang menggemari musik pop dan rock sehingga perpaduan reggae dengan kedua genre ini memang lebih ramah di telinga mereka. Grup band Steven & Coconuttreez Adalah representasi yang pas untuk menggambarkan fusion reggae-rock yang begitu digemari dan jadi panutan. Selain itu Masyarakat Indonesia juga sangat menggandrungi musik ska karena alasan yang disebutkan di atas. Dalam tulisan Dick Hebdige, sejarah pengarauh reggae terhadap subkultur skinheads, the mods serta punk yang menghadirkan ska 2 tone membuat musik ini identic juga dengan fashion dan style seperti mengendarai motor scooter (Lambrettas dan Vespa). Grup-grup seperti Tipe-X, Shaggy Dog dan Souljah kurang lebih bisa menjadi representasi fusion ska-rock. 

Source: tangkapan layer youtube: Bart: https://www.youtube.com/watch?v=LFoBtfB-ggo

Era digital kian mendongkrak popularitas musik hip-hop (rap). Musik ini memang lagi menguasai musik mainstream global termasuk juga Indonesia. Hal ini turut berpengaruh pada perpaduan reggae dengannya. Fusion reggae-hip-hop memang telah menjadi semacam kreatifitas default bermusik Masyarakat di wilayah timur Indonesia, terutama di Papua. Musisi seperti Epo de Fenomeno dan One Scoot adalah contoh representatif fusion reggae-hip-hop. Meski dalam reggae sendiri ada subgenre dancehall yang menginspirasi dan terinspirasi dari hip-hop (rap) namun kurang begitu diminati di Indonesia. Salah satu artis Indonesia yang konsisten membawa warna dancehall sejak tahun 2005 Adalah Ras Muhamad. Belakangan memang geliat reggae di Indonesia mulai menunjukkan kecenderungan pergerakkan ke arah kultur sound system, memunculkan berbagai eksperimentasi dan ekplorasi baru seperti membuka kolaborasi reggae, dub, dancehall dan hip-hop. Nama-nama seperti Radith Echo man dan Yellasky Soundsystem Adalah motor penggerak di terororial ini. Nama yang disebutkan terakhir ini bahkan sudah berkolaborasi dengan big names seperti Eek Mouse dan Mykal Rose.    

Word, sound and power

Kecenderungan pemaknaan reggae sebagai musik leisure dan pleasure membuat Masyarakat pada umumnya termasuk juga di Indonesia abai terhadap estetika sesungguhnya reggae. Tidak ada yang mutlak untuk mendefinisikan reggae namun bila disimak secara lebih dekat ada karakteristik utama selain dimensi musical skanking rthytm off beat, yakni dimensi ekstra musicalnya. Reggae adalah satu-satunya genre musik popular yang pada dasarnya Adalah musik religious dan spiritual. Hal ini berangkat dari filosofi dalam reggae yang terdiri dari tiga element utama yakni word, sound and power.

Elemen-elemen ini menyoroti potensi transformatif dari bahasa, musik, dan dampak dari penggabungan keduanya. Bagaimana kata-kata yang dipilih dengan cermat, dikombinasikan dengan irama dan melodi yang kuat, dapat menginspirasi perubahan sosial, kebangkitan spiritual, dan pemberdayaan atau agensi – baik secara individu maupun kolektif. Kata-kata secara khusus merujuk pada ayat-ayat atau ungkapan Alkitab dan peribahasa Jamaika yang sering digunakan dalam filosofi dan kosakata Rasta, yang dikenal sebagai “dread talk.” Rasta percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan dan kebenaran yang mampu menciptakan dan menghancurkan. Ini adalah tentang penggunaan bahasa secara sadar sebagai senjata untuk menyampaikan pesan perlawanan, harapan, dan semangat. Sementara itu, sound mengacu pada ‘riddim’, yaitu elemen sonic yang terdiri dari ritme, melodi, dan instrumentasi yang menyampaikan pesan lirik. Riddim reggae dirancang untuk memikat, menyatukan, menumbuhkan rasa keterkaitan, dan memberikan pengalaman spiritual. Pesan-pesan dalam lirik reggae dipenuhi dengan kiasan-kiasan alkitabiah yang berkaitan dengan realitas masyarakatnya, seperti Exodus, repatriasi ke Afrika, Haile Selassie sebagai Tuhan yang hidup, dan perbudakan di ‘Babylon’. Kata ‘Babylonl’ adalah antitesis dari ‘Sion’ dalam terminologi atau filosofi Rasta, yang mengacu pada tatanan dunia Barat dan semua sistem yang korup dan menindas. 

Food for thought

Musik reggae dipasarkan secara global, melampaui batas-batas negara dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain layaknya tanaman rhizome. Berbagai bentuk irama dan lirik reggae yang dilokalkan membangun dan merefleksikan sejarah ekonomi, sosial, dan politik lokal, perjuangan, dan identitas berbasis tempat. Musik reggae, meskipun berangkat dari keprihatinan sosial dan sejarah di Jamaika sebagai tempat asalnya, juga berpartisipasi dalam pembentukan bentuk-bentuk budaya global melalui dialog antara pengaruh dan karakteristik lokal dengan budaya lain. 

Perkembangan teknologi yang pesat serta produksi dan konsumsi yang masif memang telah berdampak pada musik reggae sebagai sebuah komoditas, yang mengakibatkan pergeseran nilai-nilai reggae sebagai musik spiritual dan revolusioner. Hal ini memicu perdebatan, namun dari sudut pandang yang lain, fenomena budaya selalu bersifat cair di mana pergerakan dan perubahan selalu merupakan hukum semesta yang tak terelakkan. Hal ini mengindikasikan sebuah proses menjadi yang terus berlangsung. Adaptasi Adalah cara untuk menyikapinya agar bisa terus mengalir tanpa melupakan esensi utamanya agar sampai pada muara kesadaran yang memperkaya jiwa. 

(Yedijah)



  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Pablo

Augustus Pablo adalah -isme dalam kata mistisisme

Shaggydog: Cerita Dari Sayidan

Kejayaan dari gang gelap di Yogyakarta

The Love of Terry Hall

Tribute khusus untuk Terry Hall