Kabaka Pyramid

Special Interview & Event Review

Di dunia musik, beberapa nama tidak hanya mencerminkan bakat, tapi juga mengandung simbol yang memantik rasa ingin tahu. Salah satunya adalah Kabaka Pyramid—seorang seniman Jamaika yang karyanya menjembatani tradisi reggae, energi hip-hop, hingga suara-suara spiritual Rastafari. Dari panggung-panggung dunia hingga ruang sunyi meditasi, Kabaka memancarkan aura yang sama: seorang musisi yang memaknai musik sebagai sebuah  perjalanan jiwa. Artikel wawancara spesial dengan Kabaka Pyramid ini hadir berkat kolaborasi Kultur dot media bersama Singapura Dub Club sebagai kontributor.

Photo from www.kabakapmusic.com

Di balik suara yang dalam dan lirik-lirik yang tajam, ada sisi-sisi manusiawi yang jarang terlihat publik. Saat ditanya musik apa yang ia putar diam-diam di rumah ketika tidak ingin mendengar reggae atau hip-hop, jawabannya memecah bayangan stereotip itu: beberapa lagu afrobeats. Tidak ada pretensi, hanya kejujuran sederhana seorang musisi yang tetap penikmat musik di luar panggungnya sendiri.

Ritual sebelum naik panggung? Ia tidak memiliki tradisi yang terlalu heboh. Tidak ada dupa yang menyala atau mantra mistikal yang panjang. Ia hanya membawa alat kecil mirip peluit untuk pemanasan vokal. Kadang ia melakukan high knees, peregangan, atau yoga, tergantung suasana hati. Satu hal yang pasti: ia tidak suka banyak bicara sebelum tampil. Ia menyimpan energi agar suara nya tetap menjadi senjata dalam dalam setiap pertunjukan.

Soal identitas, Kabaka memiliki dua simbol yang melekat erat: “Kabaka”, yang berarti raja dalam bahasa Buganda, dan “Pyramid”, struktur megah yang tak lekang waktu. Ketika diminta memilih di antara keduanya—apakah ia lebih merasa sebagai seorang raja atau sebuah piramida—jawabannya tegas: King. Ia percaya, ada sesuatu tentang kepemimpinan dan tanggung jawab yang lebih krusial ketimbang keabadian sebuah piramida.

Photo from www.kabakapmusic.com

Di tengah hiruk pikuk industri musik yang sering kali mengaburkan batas antara idealisme dan komersialisme, Kabaka memandang Rastafari bukan sekadar label, melainkan jalan spiritual yang mendarah daging. 

“Begitu jalan hidupmu menjadi bagian dari dirimu, maka kamu hanya bisa menjadi dirimu sendiri secara alami sehingga gangguan tidak mengusik,” ujarnya.

Ada ketenangan sekaligus keyakinan yang solid dalam pernyataan itu; bahwa dunia luar tidak pernah benar-benar bisa merusak pusat gravitasi seorang Rastaman yang sudah menemukan porosnya.

Tentang Marcus Garvey—figur yang sering disebut sebagai nabi dalam Rastafari—Kabaka punya pandangan menarik. Ia yakin, jika Garvey hidup di era digital hari ini, ia mungkin akan meminta generasi muda Jamaika melihat ke Ibrahim Traore, pemimpin muda Burkina Faso, sebagai sumber inspirasi. Sebuah jembatan pemikiran antara Karibia dan Afrika, masa lalu dan masa depan, spiritualitas dan realitas politik.

Photo from www.kabakapmusic.com

Kembali ke awal perjalanan musiknya, Kabaka memulai semuanya dari ruang tamu rumah. Tempat sederhana yang kini seolah menjadi titik nostalgia. Ia berandai-andai, jika bisa kembali ke ruangan itu, ia akan menyarankan versi muda dirinya untuk ikut paduan suara dan belajar memainkan alat musik. Ada nada bercanda di sana, tapi juga semacam pengakuan bahwa setiap musisi besar selalu memulai dari langkah-langkah kecil yang mungkin dulu tampak sepele.

Kabaka percaya bahwa beberapa lirik datang bukan dari pikiran, tetapi seperti “diturunkan.” Ia menyebut pengalaman menulis “Well Done” sebagai salah satu contohnya. Proses kreatif baginya tidak selalu linear, tidak selalu rasional. Ada momen-momen transenden yang melibatkan intuisi, bahkan sesuatu yang tak bisa sepenuhnya dijelaskan.

Sebagai seniman yang mengaku perfeksionis, ia tahu betul dilema terbesar seorang kreator: kapan sebuah lagu benar-benar selesai? Baginya, sering kali jawabannya adalah tidak pernah. “Kadang kamu harus merilis musiknya saja, terlepas dari itu,” katanya. Ada kelegaan sekaligus kepasrahan di balik pernyataan itu, seperti menyadari bahwa seni pada akhirnya hidup di tangan pendengarnya, bukan penciptanya.

Photo from www.kabakapmusic.com

Di luar studio, olahraga menjadi aktivitas yang menjaga Kabaka tetap grounded. Tidak ada romantisme berlebihan tentang meditasi di tepi laut atau ritual rahasia di pegunungan. Hanya tubuh yang sehat untuk jiwa yang kuat. Sesederhana itu.

Berbicara tentang reggae tanpa menyebut Bob Marley tentu mustahil. Namun, menurut Kabaka, banyak misinterpretasi dari orang-orang tentang Bob. “Bob Marley jelas yang terhebat sepanjang masa,” ujarnya, 

“tapi saya sebenarnya selalu merasa lebih dekat dengan Peter Tosh.”

Di sinilah Kabaka menemukan misinya: menjaga semangat Peter Tosh tetap hidup, sambil belajar dari Bob bagaimana menyederhanakan pesan agar bisa menjangkau lebih banyak orang. Sebuah kombinasi antara kedalaman dan aksesibilitas, dua hal yang sering kali sulit dipertemukan.

Dari hip-hop, terutama Nas dan Wu-Tang Clan, Kabaka menyerap disiplin struktur rima dan aspek teknis dalam lirik. Baginya, teknik dan spiritualitas tidak bertentangan; keduanya justru saling menguatkan. Ada ketelitian seorang rapper di dalam jiwa seorang Rastaman.

Tentang masa depan reggae, Kabaka melihat musik ini akan terus menyatu dengan genre lain

“Saya pikir ini yang kita semua ingin lihat. Memang ada kekhawatiran bahwa generasi muda tidak lagi terhubung dengan getaran reggae, tapi saya kira musik itu akan terus menyatu dengan genre lain sampai ada seseorang yang muda dan menarik yang mengembalikan suara aslinya dan membuatnya keren bagi anak muda.”

Ada nada optimisme di sana, keyakinan bahwa evolusi tidak berarti kehilangan akar, melainkan menemukan cara baru untuk menumbuhkannya.

Photo from www.kabakapmusic.com

Soal kolaborasi, Kabaka mengaku selalu tertarik dengan suara-suara tradisional dari berbagai budaya. Begitu juga dengan bakat-bakat dari Artis Asia Tenggara. Mulai dari reggae, hip-hop, world music, bahkan musik tradisional sekalipun—semua terbuka selama ada kejujuran di dalamnya. Baginya, musik adalah jembatan lintas bahasa dan geografi.

Lalu bagaimana dengan Grammy, penghargaan yang sering dianggap puncak karir seorang musisi? Kabaka melihatnya tanpa glorifikasi berlebihan. Setiap momen, katanya, punya nilai unik. Ada hal-hal yang hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak selalu bisa dibandingkan satu sama lain. Grammy mungkin puncak, tapi perjalanan menuju ke sana tidak kalah berartinya.

Di balik semua itu, ada satu hal kecil yang jarang diketahui penggemar: Kabaka mungkin lebih sering menonton sepak bola ketimbang mendengarkan musik. Sebuah detail yang memecah citra seriusnya sebagai seniman, menghadirkan sisi manusiawi yang hangat—seorang musisi peraih Grammy yang, seperti banyak orang lainnya, tetap tak bisa melewatkan pertandingan besar di akhir pekan.

Dan mungkin di situlah letak paradoks sekaligus pesona Kabaka Pyramid: seorang “King” di panggung, seorang pemikir di balik lirik, seorang penonton bola di rumahnya. Sebuah kehidupan yang memadukan spiritualitas, disiplin, dan humor kecil—seolah ingin mengatakan bahwa bahkan raja pun butuh waktu untuk sekadar bersantai, sebelum kembali menulis sejarah lewat nada dan kata.

Debut Kabaka Pyramid di Singapura: Reggae Menyatukan Kawasan dalam Satu Getaran

Pada 6 September 2025 lalu, Singapura menjadi saksi momen penting: debut Kabaka Pyramid di kawasan Asia Tenggara. Diselenggarakan oleh Singapura Dub Club bersama Soul Vibes Asia dan Dubshottas International, acara ini berlangsung di Jungle Ballroom, Mondrian Hotel—ruang elegan di pusat kota yang berpadu dengan atmosfer intim. Malam itu menjadi perayaan lintas budaya yang menghadirkan reggae sebagai energi kolektif sekaligus refleksi spiritual.

Pembuka malam dilakukan oleh Yella Sky Sound dari Indonesia dengan seleksi orisinal yang langsung membuat audiens merasakan getaran reggae-dub. Suasana kemudian beralih lebih dinamis lewat Dubshottas International dari Shanghai dengan deretan dubplate dancehall penuh daya. Energi kian menguat ketika DJ Justo—asal Kanada, kini bermukim di Singapura—membawa karisma dan presisi yang solid dalam setiap transisi, membuat penonton kian rapat mendekati panggung.

Momentum semakin memanas saat Masia One, sang Far East Empress, mengambil mikrofon dengan karya penuh gelora. Namun puncak malam baru benar-benar menyala ketika Kabaka Pyramid, sang headliner sekaligus peraih Grammy, membuka set perdananya di Singapura lewat “Nice Up The Dance” yang menandai momen bersejarah itu.

Selama hampir satu jam, Kabaka menuntun audiens melalui perjalanan musik yang padat pesan, menutup penampilannya dengan “Red, Gold, and Green” Aura positif, sikap rendah hati, dan senyum bersahabatnya menjadikan malam itu menjadi pengalaman kolektif yang membuktikan: reggae terus tumbuh, menyatu lintas batas, dan tetap hidup dalam getaran yang otentik.

(Sumber: Singapura Dub Club, Teks: Keyko, Editor: Sam)



  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Conrad Good Vibration LP “Salute”

Album studio ke 4 dari Conrad Good Vibration

Sistah Lore Meets Soulsteppa “What Mek Rasta”

Kolaborasi penuh pesona antara Spanyol dan Filipina

Mungo’s Hi Fi x Kiko Bun EP “Riddim General”

Karya solid persembahan sang panutan dari Glasgow