Pada issue kali ini, Kultur mendapat cerita menarik perihal wisata musikal ke Kingston – Jamaika yang dilakukan oleh Samuel Walukouw. Sam (nama kecilnya) adalah pemuda Indonesia yang kini menetap di Boston – Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai frontman sekaligus pendiri dari unit musik reggae penuh pesona, Java Jukebox. Baru baru ini, ia berkunjung ke tanah air dalam rangka promosi single terbaru “Coming For You” dari Java Jukebox. Ia menyempatkan diri bertemu kami di salah satu kedai kopi di bilangan Jakarta Selatan. Dan membagikan jurnal wisata musik nya yang kami rangkum pada artikel ini. Selamat membaca.
Ia memulai ceritanya pada kami bahwa tahun 2017 merupakan tahun istimewa bagi nya. Bersama Sagar Gowda (pemain bass dari Java Jukebox), ia pertama kali mengunjungi episentrum dari musik musik mento, ska, rocksteady, reggae, dub dan banyak lagi turunan nya. Mengenal lebih dalam tentang budaya dan musik musik Jamaika yang merupakan pondasi dari ‘Java Jukebox’ adalah latar belakang perjalanan nya.
Perkenalan Sam dan Sagar dengan Maroghini (pemain perkusi untuk penyanyi legendaris Jimmy Cliff) dan juga sahabat dekat dari drummer serta produser legendaris, Sly Dunbar (Sly & Robbie) menjadi awal misi mereka. Sam menyatakan bahwa koneksi dengan Maroghini tidak hanya sebatas mendapatkan panduan menelusuri Kingston. Latar belakang dan pengalaman panjang bermusik dari Maroghini menjadi pengetahuan baru tentang musik reggae bagi mereka.
Perjalanan Sam dan Sagar di Jamaika juga mengunjungi tempat tempat bersejarah, salah satunya – dan sudah tentu – yaitu, menuju kawasan 56 Hope Road, Kingston, kediaman dari sang prophet Bob Marley. Tempat tinggal Sekaligus studio Tuff Gong milik Bob Marley. Rumah yang menjadi saksi atas peristiwa penembakan yang menimpa Bob Marley pada 3 Desember 1976. Sam menambahkan, bekas peluru pada dinding bangunan tersebut masih terlihat. Di tempat ini juga Sam dan Sagar berjumpa dengan virtuoso perkusi, Bongo Herman (The Abyssinians, The Congos, Revolutionaries, Roots Radics, Mikey Dread, U-Roy, Beenie Man, Sizzla, Mutabaruka dan juga terlibat dalam film influential; “Rockers”).
Orange Street, salah satu kawasan yang “bertanggung jawab” besar atas penyebaran musik Jamaika di dunia adalah tempat yang tak luput dikunjungi oleh Sam dan Sagar. Di tempat ini, dulunya berbagai record shop dan imprint musik Jamaika lahir. Beberapa diantaranya adalah Studio One Records milik Sir Clement “Coxsone” Dodd, Record Shack kepunyaan Prince Buster dan Upsetter Record Shop and Label milik produser dub maha penting, Lee “Scratch” Perry. Di kawasan ini Sam dan Sagar sempat mengunjungi Rockers International imprint musik yang dilahirkan oleh sang seniman besar pemain melodika nan magis, Augustus Pablo. Rockers International satu satunya dari nama nama di atas yang masih bertahan hingga hari ini, kini dikelola oleh sang anak yang juga berkiprah dalam musik, Addis Pablo.
Marcus Mosiah Garvey dan Rastafarian adalah elemen besar yang menjadi inspirasi dari banyak karya musik dari Jamaika. Sam kembali menceritakan perjalanan nya dan menggarisbawahi kunjungan ke ‘situs’ penting dari dua hal ini. Mereka berkesempatan menyambangi rumah kelahiran dari salah satu tokoh pergerakan Rastafari ini. Kutipan bijak ”A people without the knowledge of their past history, origin, and culture is like a tree without roots” milik Garvey begitu melekat pada dua tamu kultur kali ini. Yang akhirnya mengantarkan mereka ke Pinnacle, sebuah tempat yang menjadi awal permulaan Rastafarian movement di Jamaika oleh Leonard Howell. Sam juga berbagi pengalaman unik di lokasi ini, mereka disini bertemu dengan penganut rastafari bernama Constantine yang tiba-tiba datang dari semak-semak sekitar bangunan Pinnacle. Constantine menyampaikan kepada mereka bahwa Jah (rastafari) telah memanggil dirinya untuk menjaga Pinnacle dan ia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat ini.
Sam dan Sagar kemudian menceritakan wisata musikal mereka lebih lanjut. Kali ini tentang Kumina. Musik yang dibawa oleh keturunan Kongo – Afrika Tengah di Jamaika. Sebuah musik yang memiliki pengaruh besar pada jenis irama Nyabinghi, yang kemudian mendorong lahirnya Ska, rocksteady, reggae dan seterusnya. Mereka mengaku begitu beruntung karena kunjungan mereka bertepatan dengan sebuah seremonial Kumina yang tentu saja langsung mereka datangi. Meski saat itu mereka berencana menyaksikan penampilan solois reggae wanita, Lila Ike.
Momen berikutnya dalam wisata musik kali ini, Sam dan Sagar mendatangi salah satu studio yang cukup populer di Kingston, Penthouse Studio. Mereka melihat langsung saat solois Tarrus Riley sedang berlatih di Studio yang didirikan oleh salah satu produser reggae di masa keemasan era digital tahun 1987, yaitu Donovan Germain. Di sini mereka mendapatkan sebuah kejutan lain, yaitu berjumpa dengan saxophonist kawakan, Dean Fraser.
Selang 5 tahun kemudian, Samuel Walukouw kembali berkunjung ke Jamaika. Pada tanggal 7 Maret 2022 ia menjejakan kembali ke tanah penuh sejarah ini. Kali ini agenda nya adalah untuk rekaman 1 track untuk Java Jukebox dan menemui sang mentor, Maroghini. Setibanya, ia langsung menuju studio bersama Maroghini. Disana ia bertemu dengan Desi Jones, bekas drummer dari grup reggae asal St. Mary – Jamaika, Chalice.
Selain melakukan rekaman, Sam kembali berkeliling. Kali ini, Maroghini mengajaknya berkunjung ke Leggo Studio, studio yang dibangun dan dikelola oleh Trevor “Leggo” Douglas. Leggo ini adalah salah satu sosok penting dalam perjalanan karir Dennis Brown dan Big Youth. Bersama Gregory Isaacs, ia pernah menjalankan record shop Cash & Carry Record Shop. Di studio ini, Sam mendapat kesempatan emas untuk merekam vokal dengan riddim yang dibuat langsung oleh Trevor Douglas. Setelah itu, Sam bersama Maroghini singgah Edna Manley College, tempat Maroghini mengajar. Beberapa band yang datang dari universitas ini adalah Raging Fyah dan EarthKry.
Menutup jurnal wisata musik nya, Samuel Walukouw (Java Jukebox) memberikan rangkuman kepada Kultur, “Music is everywhere there! Musik itu sudah darahnya Jamaika!” banyak hal yang ia pelajari di sana, budaya, wawasan bermusik dari distribusi hingga teknik produksi dan tentunya pelajaran untuk menjaga api semangat bermusik tetap menyala.
(Reporter: Keyko, Editor: Sam)
Show Comments (0)