Opsi wawancara jarak jauh lewat panggilan video akhirnya menjadi solusi yang kami lakukan untuk artikel ini. Dalam dua kali empat puluh menit, kultur bertanya dan mendengar jawaban tamu kali ini. Mulai dari status “Manadokart”, inspirasi di balik karyanya hingga perjalanan karir, dan tentu, tentang medium reggae pilihan nya.
Pemicu dan pacuan
Pernah tergabung dalam sebuah kelompok musik alternatif asal Jakarta, Scope. Pria bernama lengkap Steven Nugraha Kaligis menarik perhatian industri musik tanah air lewat debut album “The Other Side”. Sebuah album yang membuka jalan baru bagi musik reggae di Indonesia. Seperti melanjutkan dobrakan yang dilakukan oleh pendahulunya yaitu Black Brothers, Abresso, Imanez, dan Tony Q. Steven mengoreksi dengan bersahaja opini dari kultur tentang hal tersebut saat berbincang via panggilan video; “Gua bukan pionir nya ya, kebetulan aja formula gua saat itu cocok dan diterima publik”.
Lebih jauh bercerita tentang musisi musisi yang mempengaruhi nya pada era tersebut, Steven menegaskan bahwa Imanez melalui dua album miliknya adalah salah satu panutan Steven dalam berkarya. “Gua lebih mudah menikmati keindonesiaan dalam medium reggae (dari dua album Imanez)”. Menyinggung latar belakang musiknya, Steven menjelaskan bahwa dirinya memulai eksplorasi lewat inspirasi dari The Beatles, Pearl Jam, dan Red Hot Chili Peppers. Dari nama terakhir, Ia baru mengenal sosok Bob Marley. Meski Ia menambahkan sebetulnya sejak kecil dia sudah mendengarkan Bob Marley. “Waktu kecil, gua udah tau musik musik nya (Bob Marley). Sudah mendengarkan dan berdansa, meski (saat itu) belum mempelajari nya.”
Masih bercerita tentang debut albumnya, Steven menceritakan bahwa ia mendapatkan dukungan besar dari banyak musisi dalam pengerjaan album solo tersebut. Materi lirik dalam album tersebut adalah ekspresi personal nya. “80% karya gua memang personal” begitu ia menegaskan. “Lagu Serenada aransemen nya gua dapat waktu ngamen di bis kota”. (Saat itu, Steven sudah dikenal sebagai salah satu artis Ibukota, beberapa kali ia mendapat respon berupa keterkejutan dari penumpang yang mengenalinya).
Repertoire dari Steven & The Coconut Treez maupun Steven Jam cenderung santai dan mudah diresapi oleh para penggemarnya. Bisa dibilang jarang mengangkat tema tema sosial. Dalam hal ini, Ia menjelaskan bahwa “Gua lebih suka meminta dengan lembut, meski ada saatnya harus “ngomel” juga.” Lebih jauh, Steven menambahkan bahwa interpretasi lirik dari lagunya bagi pendengar bisa saja berbeda dari ide nya. Namun, meski tanpa pesan pesan sosial yang begitu vulgar dalam lagunya, bagi banyak musisi setelahnya, Steven adalah sosok yang selalu terbuka dalam memberikan dukungan baik untuk berkarya dan bekerjasama. Lagi lagi, dengan rendah hati ia hanya membalas lewat senyum atas fakta tersebut.
Selamat datang, yang terus terbentang.
Setelah era 2005, kini Steven menjadi salah satu nama dalam industri musik dengan jaminan jumlah fans yang massive pada setiap pertunjukan nya. Menanggapi ini, “Interaksi dengan penggemar saat di atas panggung maupun pada kehidupan sehari hari bisa menjadi inspirasi, banyak lagu gua yang idenya berasal dari mereka”. Penggemar baginya adalah tulang punggung “Gua bisa terus berkarya sampai hari ini, karena ada backbone (penggemar) nya” Steven menggarisbawahi terima kasihnya atas keberadaan penggemar.
Steven mengenang, saat saat awal, antusiasme dan apresiasi lebih terasa besar terhadap musik reggae saat bermain di tanah Papua. Meski sekarang ia menceritakan hampir di setiap daerah sudah lebih merata. Termasuk ia sering memperhatikan bakat bakat baru yang muncul dari setiap daerah sebagai interaksi dan apresiasi dirinya dalam menjalani karir musik. Steven menyebut nama Minahaska (Manado), Rainbow Skanking (Belitung) yang menarik perhatian nya. Steven juga menambahkan satu nama dari Malaysia, Purevibracion. “Sudah jauh lebih enak dari segala aspek, apresiasi penonton sekarang sudah merata” begitu ia menjawab tentang perkembangan skena Jamaican Music di Indonesia saat ini.
Pada tahun 2005, Steven menjadi sosok dibalik sebuah album kompilasi yang mendorong semakin meluasnya pendengar dan penggemar Jamaican music di Indonesia. Album tersebut berjudul “Indonesian Reggae Revolution”. Album kompilasi yang terdiri dari beberapa outfit musik dan solois tanah air yang kini sudah menjadi nama nama besar di Indonesia, diantaranya adalah The Paps, Gangsta Rasta, Ras Muhamad, Matahari, Richard & The Gillis dan Kowena. Bahkan, Tony Q Rastafara turut serta berpartisipasi di album ini.
Nama terakhir, memiliki arti khusus bagi Steven. Dia menggambarkan bahwa Tony Q adalah Mentor nya. Sosok penjaga skena reggae Indonesia. Steven mengingat dan tertawa, “waktu masih di BB’s (kafe legendaris di kawasan pusat kota Jakarta), gua lebih sering ngerecokin beliau. Beliau Mentor gua”.
Disinggung atas keterlibatan nya menggelar sebuah festival reggae (di Jakarta) yang syarat catatan sejarah, apakah akan ada lagi? Steven menjawab, “Insya Allah, tapi mungkin kali ini dengan format family values. Kita sama sama melakukan tour ke luar (negeri) dengan banyak genre, dari reggae, dub, ska dan budaya sound system. Gua juga menikmati beragam sub genre yang dimainkan oleh banyak outfit di Indonesia, termasuk dub dan sound system.”
Saat kultur meminta Steven menceritakan highlight karirnya sejak awal, dengan tenang Dia menjelaskan, “Proses aja, gua percaya sama proses. Menikmati nya sejak awal”. Steven kembali menambahkan, bahwa dia bukan lah tokoh utama dari skena reggae tanah air. “Gua bukan reggae “kelotokan”, di zaman itu, sudah banyak band (underground yang memainkan) reggae. Gua cuma nerusin yang sudah membuka jalan, (hasil dari) Tony Q, Imanez dan banyak teman lain” begitu beliau merangkum sekilas karir nya kepada kultur. Steven juga menambahkan bahwa ia memaknai reggae sebagai sebuah budaya.
Mungkin, berangkat dari hal ini lah, Steven tak sungkan dan selalu dengan tangan terbuka untuk mendukung setiap rekan dan sahabat nya untuk berkarya dan berkarir dalam skena musik jamaika di tanah air. Persis seperti terbukanya dia mengucapkan selamat datang ke dalam ruang paradise dalam idenya. Sebelum mengakhiri sesi panggilan video ini, kultur mengkonfirmasi kesimpulan ini kepada beliau, Steven hanya menjawab dengan senyum tawa, Ia lebih tertarik memberikan dukungan moral nya kepada kultur, selalu sehat dan tetap berkarya. Langsaam!
(sam)
Show Comments (0)