Reload The Joint5: Joe Higgs

Special Issue: Reload The Joint5

Dengan kepala sedikit tertunduk dan mata menyapu trotoar, seorang pria berjalan bolak-balik melewati kesunyian yang dibungkus seng karatan. Jalan kecil itu belum beraspal, tapi penuh retakan sejarah. Di sanalah, ia menciptakan jejak yang tak akan hilang.

Terlihat samar, apakah dia mencari cinta atau sedang menguji iman. Tapi sepatu ‘clark’ lusuhnya terus melangkah, dan langkah itu seperti one-drop yang belum selesai.

Dalam zikir urban penuh gema, orang-orang memanggilnya Joe. Tapi bagi sebagian lainnya—terutama mereka yang tahu bahwa akar itu penting–walau tak terlihat—dia adalah Guru, Mentor, sekaligus Bapak Sang Peniup Frekuensi.

Joe Higgs tak pernah punya studio mewah atau tur global bertabur sponsor. Tapi semua yang pernah menggetarkan dunia dengan reggae, pernah—secara langsung atau gaib—menerima pusaka darinya: diwariskan di bawah pohon, atau di halaman belakang rumah di sudut Trench Town.

Bob Marley? Murid.
Bunny Wailer? Murid.
Peter Tosh? Murid juga.

Joe Higgs tidak memanifestasikan citra diri sebagai nabi. Ia adalah guru seni bertahan hidup lewat suara—dan “Devotion” adalah buku kecil yang dia tulis. Bukan dengan pena, tapi lewat suara yang melekat dalam piringan yang tak pernah berkarat.

“Walking up and down, looking all around like a clown…”

Puisi dari tubuh lelah yang terus bergerak demi sesuatu yang lebih besar dari ego. Bukan cinta biasa. 

Itu Kesetiaan alias Devotion

Dan Joe Higgs tahu, Ia nyanyikan pesan ini berulang-ulang menjadi mantra mujarab berupa refrain. Ia berseru, setia tanpa definisi cuma jadi obsesi buta. 

Joe Higgs kerap disangka cuma irama downstroke yang membosankan—seperti plester penutup luka propaganda, dilantunkan para pendengung minus kewarasan yang bersuara sumbang demi invoice. Tapi Higgs adalah leitmotif dalam opera reggae global: senyap tapi mengikat, seperti tema yang menandai kehadiran Siegfried atau Valkyrie dalam semesta Richard Wagner.

Dia adalah pembimbing napas dalam harmoni Bob Marley yang kita dengar selama ini. Ia pula yang memahat keyakinan dalam repertoar Marley: bahwa menyanyi bukan sekadar soal nada—melainkan soal setia pada arah, bahkan ketika kompas rusak.

“Devotion” bukan lagu cinta biasa. Lagu ini adalah cetak biru spiritual dari seorang jenderal yang berdiri di garis depan, yang tahu: revolusi sejati tak selalu terdengar lantang, terkadang justru tersembunyi dalam hook yang sederhana dan chorus yang lebih khusyuk dari doa.

“I heard you say that you love me so…
But those words I have to show you…”

Higgs tahu: cinta tanpa aksi hanyalah sebuah kebohongan beralas Louboutin dan bermandikan kilau berlian De Beers—sebuah parade kosong yang tak pernah ia ikuti.

(Sam)

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *