Di Antara Dua Dunia: Jejak Diaspora dalam Musik Jamaika
Di balik berjayanya reggae di dunia, ada keterlibatan sosok perempuan Asia-Jamaika yang jarang muncul di panggung utama: Patricia “Miss Pat” Chin. Dari sebuah toko kecil di Kingston hingga mendirikan VP Records di New York, ia menjadi salah satu figur yang menjembatani musik Jamaika mendunia. Miss Pat, adalah sebuah sejarah bagaimana seorang perempuan di persimpangan budaya yang membuat banyak karya dari Jamaika terus bergema.
Bagi publik, Miss Pat tidak setenar Bob Marley atau Lee “Scratch” Perry karena ia lebih banyak bekerja di balik spotlight, tetapi kehadirannya lah yang membuat kita mengenal banyak musisi Jamaika. Yang kita ingat, kita idolakan bahkan kita jadikan panutan!

Jejak Kreativitas Diaspora: Dari Beverley’s ke Randy’s
Ada sesuatu yang nyaris terlalu indah untuk disebut kebetulan dalam sejarah musik Jamaika. Leslie Kong, putra keluarga Tionghoa-Jamaika, menjalankan Beverley’s Ice Cream Parlour di 135 Orange Street, Kingston. Dari balik etalase yang seharusnya hanya menyajikan rasa vanila dan coklat, ia justru membidani kelahiran label Beverley’s Records, rumah awal bagi Bob Marley, Jimmy Cliff, dan Desmond Dekker. Dari kedai sederhana itu pula lahir “Israelites” (1969), lagu yang merebut pasar internasional membuat karya dari Jamaika bisa menembus dunia.
Sejarah, terkadang punya selera humor yang halus. Pola yang sama terulang beberapa tahun kemudian, masih di pusat kota Kingston. Kali ini, pelakunya seorang perempuan muda keturunan Tionghoa dan India bernama Patricia Chin. Bersama suaminya, Vincent “Randy” Chin, ia membuka toko kecil bernama Randy’s Record Mart. Seperti Beverley’s, usaha ini lahir dari kreativitas membaca peluang: menjual piringan hitam bekas jukebox di kawasan East & Tower Streets—rekaman yang sudah dianggap usang oleh pemilik mesin hiburan, tapi memiliki nyawa bagi para penikmat musik Kingston.
Tidak lama berselang, toko itu pindah ke 17 North Parade. Lantai atas bangunannya disulap menjadi Studio 17—ruang rekaman yang kelak menjadi saksi lahirnya karya besar The Wailers, Burning Spear, Gregory Isaacs, hingga Dennis Brown. Dari luar, Randy’s mungkin tampak hanya toko sederhana. Tapi toko ini adalah laboratorium komunitas: tempat musisi berlatih, berdiskusi politik sambil menunggu giliran rekaman. Dan di tengah riuh itu, Miss Pat, dengan keramahan nya yang melegenda, hadir sebagai “ibu” bagi para musisi muda yang mencari rumah kedua.
Begitu rendah hati, sosok Ibu ini menggarisbawahi awal mula sejarah yang terjadi kepada WorldMusicViews (2022) :
“Kami memulai Randy’s Records sebagai toko rekaman bekas.”
Randy’s bermula dari langkah sederhana tapi brilian: membeli piringan bekas jukebox yang dianggap usang, lalu menjualnya kembali sebagai koleksi bernilai. Praktik ini mencerminkan etos diaspora Asia di Karibia—intuisi bisnis yang efisien sekaligus visioner, mengubah surplus menjadi peluang, memberi kehidupan baru pada yang terbuang.
VP Records dan Lahirnya Penjaga Budaya
Akhir 1970-an, Jamaika dilanda ketegangan politik. Bentrokan antara dua partai besar, PNP dan JLP, membuat Kingston terasa berbahaya. Bagi keluarga Chin, yang mengelola bisnis musik di tengah ketidakpastian, situasi itu mendorong mereka untuk mencari tempat baru.
Mereka pindah ke Amerika Serikat, tepatnya di kawasan bernama Jamaica, Queens. Sebuah kebetulan yang menarik: dari Jamaika pulau ke Jamaica distrik. Di sana, mereka mendirikan VP Records, yang diambil dari inisial Vincent dan Patricia pada tahun 1979.
VP Records segera menjadi pusat jaringan diaspora Karibia di Amerika Utara. Para pendatang dari Jamaika, Trinidad, atau Guyana tahu bahwa di VP mereka bisa menemukan musik terbaru dari rumah.
Miss Pat sendiri mengingat betul bagaimana masyarakat memandangnya di era itu. Dalam wawancara dengan PBS (2023) ia berkata:
“Ketika seorang jurnalis datang mewawancarai saya, mereka terkejut melihat seorang perempuan Tionghoa di Amerika menjual reggae. Mereka selalu bertanya, ‘Bagaimana Anda tahu sebuah lagu akan jadi hit?’ Saya menjawab: ‘Bukan dari studio atau papan musik. Orang-orang di jalan yang membuat sebuah lagu jadi hit.’”
Ia menambahkan dalam kesempatan yang sama:
“Toko saya adalah tempat orang berkumpul untuk mendengar musik.”
Pernyataan ini menegaskan bagaimana VP berfungsi sebagai pusat komunitas selain menjadi tempat jual-beli rekaman musik. DJ radio komunitas datang setiap minggu untuk membeli rilisan terbaru dari Kingston. Mulai dari Shabba Ranks hingga Beres Hammond, dari riddim dancehall hingga kompilasi roots, semua bisa didapat di sana.
Miss Pat, tidak hanya melakukan template dan preset bisnis logistik atau merawat ekosistem.
Dengan intuisi bisnis dan sosok ibu, Ia justru membangun ruang emosional bagi musisi dan komunitas. Di balik rak-rak vinil, tercipta suasana kekeluargaan yang membuat diaspora merasa seperti berada di rumah.

Kejeniusan dalam adaptasi
Dalam narasi reggae arus utama, nama-nama besar seperti Bob Marley, Peter Tosh, atau Lee “Scratch” Perry sering mendominasi. Namun, ada lapisan lain yang jarang disorot: kontribusi komunitas Asia-Jamaika dalam menjadikan musik lokal ini sebagai industri global.
Akar sejarahnya berawal pada masa kolonial, ketika imperialis membawa tenaga kerja kontrak (indentured labour) dari Asia, terutama Tionghoa dan India, ke Karibia. Setelah masa kontrak berakhir, banyak dari mereka menetap dan membangun jaringan ekonomi melalui usaha kecil—mulai dari toko kelontong hingga perdagangan. Etos ini kelak menjadi fondasi ketika sebagian dari mereka terjun ke bisnis musik.
Keberhasilan Leslie Kong sebagai pelopor awal lewat Beverley’s Records, menjadi pola yang mengulang untuk duet Patricia “Miss Pat” Chin dan Vincent Chin. Mereka mendirikan Randy’s Record Mart yang berevolusi menjadi VP Records di New York adalah bukti nyata dampak panjang dari kolaborasi musik musik dari Jamaika dengan intuisi bisnis ala Asia.
Keberhasilan VP bukan hanya soal artis besar, tetapi juga kemampuan membaca zaman. Saat industri berpindah dari piringan hitam ke CD pada 1980-an, banyak label kecil tumbang, tetapi VP bertahan. Memasuki era digital 2000-an, mereka cepat mendigitalkan katalog lama sehingga tetap relevan di pasar global.
Dalam berbagai wawancara, Miss Pat menekankan pentingnya membaca perubahan zaman:
“Kami tahu jika ingin bertahan, kami harus beradaptasi. Jadi kami mendigitalkan katalog lama dan memastikan musik itu bisa hidup di platform baru.” (diadaptasi dari wawancara VP Records, 2000-an)
Intuisi Miss Pat untuk Dunia
Dari kisah es krim di Orange Street hingga etalase toko di Jamaica, Queens, perjalanan Miss Pat Chin adalah cermin bagaimana diaspora bekerja: mengubah pinggiran menjadi pusat, mengubah surplus menjadi sumber daya, dan mengubah toko kecil menjadi industri global.
Siapa sangka bahwa suara yang lahir dari ghetto Kingston, dibesarkan di toko bekas kedai es krim, dan dijaga oleh seorang perempuan Asia-Jamaika, akhirnya bisa menggetarkan stadion-stadion dunia?
Miss Pat Chin menunjukkan bahwa musik tak mengenal batas. Dari akar Jamaika hingga panggung dunia, reggae adalah bukti kekuatan lintas budaya. Intuisi bisnisnya membuat suara suara dari Jamaika terus bergema, dan sosok nya sebagai Ibu, melahirkan inovasi yang ikut membentuk wajah musik global, hingga hari ini!
(Teks:Keyko, Editor: Sam)






Show Comments (0)