Diterjemahkan secara letter lecht, ‘dancehall’ artinya lantai atau ruang dansa. Ia memiliki dimensi ruang dan juga waktu. Sebagai sebuah sub genre, dancehall disebut reinkarnasi dari reggae sejak 1980 an. Namun sejarah tentang dancehall ini belum ditemukan akurasi nya.
Kajian umum tentang dancehall didominasi wacana tentang musik itu sendiri, mulai dari lirik, politisasi dan cara penyampaian nya. Berangkat dari titik ini, musik dancehall menjadi gerbang yang membawa luas nya pandangan umum. Kadang membawa pandangan yang mengabaikan variabel lain seperti geografi serta dancehall sebagai sebuah pertunjukan dan para scenester nya selain para DJ dancehall itu sendiri.
Budaya sebagai peta yang menegaskan eksistensi realitas memang tidak mungkin utuh mencakup semua wilayah, secara kartografi masih banyak beberapa wilayah yang luput untuk dicantumkan. Menyisakan area yang dianggap sebagai non existent.
Sonja Niaah Stanley, peneliti dari University of the West Indies (UWI) – Jamaica dalam research nya yang berjudul ‘Dis Slackness Ting’: A Dichotomizing Master Narrative in Jamaican Dancehall, memberikan semacam gambaran ekologi (ruang lingkup kehidupan) dancehall. Ia memberi pandangan yang lebih luas dimana lirik, para performer (penampil), ruang pertunjukkan, serta patron (penanggung jawab dan pelaku bisnis) saling berinteraksi. Mereka memberi kedalaman pada panggung musik dancehall.
Hal ini memungkinkan pemetaan akan konteks dan identitas mendasar yang membawa konteks pada fokus yang mendeskripsikannya sebagai ‘dance’ (tarian) atau dance (tarian) subkultur.
Beririsan sebagai sebuah bentuk musik, dancehall juga membawa pengalaman yang sama dengan jenis musik lain. Sama-sama membawa pendengar menghadapi struktur kompleks dan dinamis dari hubungan yang tidak kekal — jalinan sonik dari nada dan ketukan, harmoni yang tinggi, dan warna nada yang kontras — yang mencontohkan pengalaman menjadi bagian dari komunitas bukan dari kesatuan melainkan diversitas.
Keberagaman dalam dancehall hadir pada tema-tema yang tertuang dalam banyak rilisan, juga signature pertunjukan dari para artisnya. Reinkarnasi dari reggae yang disebut melahirkan dancehall pada 1980 an bisa menjadi gerbang untuk mengenal budaya dancehall ini. Kematian Bob Marley dan lahirnya dancehall menjadi sebuah argumen yang konsisten dalam berbagai referensi sejarah. Hal ini kemudian melahirkan opini yang meluas, ‘Reaganomics & Thatcherism’ ala JLP (Jamaica Labor Party) partai berkuasa saat itu, hingga drugs dan senjata yang masif yang disebut sebagai ekses dari kebijakan politik neoliberal yang bergeser dan melahirkan pemahaman baru akan upaya mencapai kekayaan dengan cepat, serta narsisme (budaya pamer dan ‘fabulous’), dimana para ‘ghetto fabulous’, istilah yang digunakan oleh warga kota, mulai muncul secara nyata. Hal ini seperti menggarisbawahi suatu pergeseran dalam kebijakan dan filosofi jauh dari berbagai kebijakan oleh rezim Michael Manley tahun 1970 an.
Lirik-lirik mulai merefleksikan pemahaman baru ini dan para DJ seperti Yellow Man dan Shabba Ranks dianggap sebagai cermin akan peralihan dari ‘social concerns’ era 1970 an yang membakar api semangat era baru dancehall dengan lagu-lagu yang penuh dengan seksualitas yang membuai, misogyny, dan violence (kekerasan) seakan menjadi calo bagi apa yang disebut oleh generasi sebelumnya sebagai “Babylon.”
Shabba Ranks, lewat ‘Wicked in bed’. Menyuntikan sebuah wacana terhadap dancehall, yang oleh Selewicz & Boot (2001: 172) ditulis sebagai satu genre musik tersendiri, yang berbeda dan dicirikan dengan perkawinan antara ‘digital beat’ dan ‘slackness’,bahwa moment dan musik dimana lirik tentang senjata, bagian tubuh perempuan, kegagahan seksual laki-laki menjadi satu kesatuan.
Kata ‘slackness’ melekat nyaris bagaikan sebuah brand pada dancehall. Carolyn Cooper, seorang pengamat atau pakar kajian budaya dan dancehall berargumen membela ‘slackness’ dari berbagai cercaan. Ia menempatkan ‘slackness’ pada wacana yang lebih luas tentang budaya populer Jamaika serta juga soal relasi kuasa dibaliknya.
Sampai pada batasan itulah, sejarah reggae melalui bab pasca dancehall era 1980 an telah mengaitkan antara ekonomi politik dan kematian Marley terhadap kebangkitan ‘slackness’ yang menjadi semacam narasi utama dalam dancehall yang hadir diantara segudang narasi dikotomi.
Menurut Cooper, dikotomi narasi dancehall antara lain seperti: lirik kebencian vs lagu cinta; lagu suci (spiritual) vs lagu sekuler (duniawi); singing vs toasting; riding the rhythm vs creating music; bahasa Inggris baku vs Patois; roots reggae vs dancehall; revolutionary vs ragamuffin; mainstream vs marginal.
Melihat sejenak ke belakang, musik populer di Jamaika, dari era 1950 an sejak era Rhythm & Blues seperti satu takdir dengan lantai dansa. Manifestasi perbedaan yang lahir pada era dancehall adalah sebuah pengaruh. Bagaimana sebuah gaya pertunjukan sangat mempengaruhi rilisan vinyl. Dancehall itu sugestif!
Berkembangnya gaya pertunjukan dancehall, generasi dari musisi baru dengan kesegaran mereka dan tetap bergantung pada pre-recorded rhythms, gerakan dansa baru, lirik-lirik yang lebih eksplisit, dan pertarungan sound (sound clash). Dancehall bagaikan sebuah maktab yang inspiratif!
Sementara hadirnya para DJ untuk pertunjukkan live dalam dansa, kemajuan teknologi, komodifikasi, serta jumlah konsumsi akan bentuk ini yang terus bertambah memberi makna bahwa menggunakan piringan hitam (vinyl) telah menjadi cara memainkan musik pada ruang (space) dansa. Dancehall selalu berkembang!
Berdasarkan ciri ciri di atas, dancehall lebih dari sekedar sebuah urutan kronologis bagi kehadiran berbagai musik populer Jamaika, ia memiliki kodrat sebagai sumber musik-musik tersebut.
Sampai titik perkenalan ini, otentisitas dari dancehall sedikit tergambar. Seperti halnya iklim sosial yang terpengaruh oleh keadaan sosial politik, karya seni pun dapat merefleksikan hal ini. Begitu pula dalam dancehall. Variabel lain dari dancehall, berdasarkan dikotomi di atas, cukup menggambarkan bahwa model musik sugestif yang mendorong untuk berdansa menjadi ciri dari dancehall, begitu juga halnya dengan penyanyi, ia seperti ‘orator’ ulung penuh diksi agitatif yang mampu membakar semangat berdansa. Dan mampu membuat suasana sebuah pertunjukan dancehall makin hidup. Sebuah kemampuan istimewa, dan otentik.
Dari tanah air, Conrad Good Vibration salah satu solois yang memuja dancehall berpendapat sambil tersenyum: “Sejujurnya Buat saya Dancehall adalah Berbicara yang mempunyai nada! Tak perlu jago bernyanyi”. Tapi ia kembali menambahkan, “Lirik yang padat, cepat dan rima yang “puitis” adalah elemen penting dari dancehall yang harus dikuasai”. Sementara itu, Mighty Che, salah satu MC ranah dancehall dari Indonesia mengutarakan, begitu kuat nya keberadaan dancehall sebagai salah satu budaya hingga ia menyimpulkan, “musik ini (dancehall) bisa diberi muatan pesan apa aja, bahkan bisa menjadi senjata untuk menyebarkan pemahaman sosial dan kehidupan. This music can be a medicine as well as a weapon.”
Keduanya seperti mengamini pernyataan penting dari Cooper–yang akan menutup issue kultur edisi ini, “dancehall adalah suatu estetika inklusif rakyat neo-African suatu bentuk fusion kata-kata, musik, dan pergerakkan bernuansa karnaval yang bergerak pada pusat serta lantai dansa”(1993:138)
(Text: Yedi & Sam)
Show Comments (0)