Abresso

‘The Missing Puzzle’ Sejarah Musik Jamaika di Tanah Air

Nama Abresso sebagai salah satu pelopor musik reggae di Indonesia memang tidak hanya sekedar urban legend. Beberapa sumber tulisan maupun pernyataan yang menggarisbawahi peran Abresso cukup banyak. Kultur merangkum beberapa fakta untuk mengenal Abresso lebih jauh.

Coming from the east to the west, hit the ‘metropolis center’ and spread the spirit of Jah music. Abresso adalah sebuah band yang sebagian besar personilnya adalah anak-anak Papua di Jakarta. Sebelumnya band ini mengalami beberapa kali pergantian nama dan formasi. Awalnya adalah Airmood yang menganut warna pop rock dan R&B. Airmood mulai “berhembus” pada awal 1980 an, dengan line up terdiri dari Akon Bonay (bass), Dicky Mamoribo (keys), Ian Gebze (lead guitar), Coca (drum), William Rumbewas dan Becheq Muabuay (Vocal). Mereka mengawali kiprahnya dengan berpartisipasi dalam acara legendaris milik TVRI kala itu ‘Aneka Ria Musik.’ Berbekal alat musik seadanya mereka lolos seleksi penjurian yang dipimpin oleh musisi kawakan Christ Pattikawa dan tampil beberapa kali dalam acara tersebut. Airmood merilis dua album; 1981 & 1984 dengan repertoire seperti : Masuk Putih Keluar Hitam, Gaya Intermeso, Tiket Bis Malam, Pasrah Ombak Putih, Unlike Woman dan The Man Come Upon The Town. Airmood kerap berbagi panggung dengan nama nama besar seperti God Bless dan SAS.

Airmood live di Stadion Siliwangi, Bandung 1984.

Dari penuturan Robby Wambrauw (keyboardist Abresso dan Asian Roots) kepada kultur bahwa setelah hiatus sejak album kedua, akhirnya pada tahun 1986 Airmood kembali aktif namun bertransformasi menjadi Black Airmood dengan line up baru: Akon (bass & vocal), Ian (guitar), Robby Wambrauw (Keyboard), Sandy Bethay (vokal), Boyke Pattipelohi (drum). Sandy adalah mantan vokalis salah satu legenda musik; Black Brothers dan merupakan adik dari Benny Bethay (bassist Black Brothers), dan Boyke adalah adik dari Jochie Pattipelohi (keyboardist Black Brothers). Mereka kemudian menunjuk Seno Sugiarto sebagai manajer band. Beberapa waktu kemudian bergabung pula Jimmy Ignacio, perkusionis asal Curacao, sebuah negara kepulauan kecil bekas koloni Belanda di Caribbean. Dengan masuknya Jimmy, Black Airmood kemudian berganti nama menjadi Black Company yang secara ‘gradual’ mulai memainkan reggae.

Ket.foto (kiri-kanan): Dewi, Robby Wambrauw, Akon Bonay, Boyke Patipelohi, Dicky Mamoribo, Jimmy Ignacio, & Sandy Bethay.

Mereka merambah berbagai pentas hiburan malam di ibukota seperti kafe di Kemang Raya, Chicago pub Blok M hingga dikukuhkan melalui ‘reggae night’ di pasar seni Taman Impian Jaya Ancol. Gigs bersejarah ini terselenggara berkat kerjasama antara Kasuari Enterprise, milik Ian Gebze dan pihak Taman Impian Jaya Ancol serta sponsor perusahaan rokok. Ini menjadi momentum penting karena ‘event live’ merupakan suatu bentuk ‘deteritorialisasi’ ruang publik yang masih asing dengan reggae. Lebih jauh, hal ini juga menunjukkan betapa krusialnya sinergi antara kapital budaya dengan kapital uang dalam menyediakan ruang ekspresi demi ‘survival’ atau keberlangsungan seni pertunjukkan dan para pelakunya. Walaupun pada saat itu sangat belum menjanjikan bagi jenis jenis musik sidestream. Bisnis hiburan malam seperti cafe dan pub serta reggae night Ancol ini, meski tak semegah sumfest dan sunsplash, telah menjadi ‘stepping stone’ dalam upaya perkenalan nan berkesan serta menggoda yang memicu laju tumbuh kembangnya.

Robby menambahkan, pada sekitar tahun 1990 Black Company terbagi menjadi Abresso (Akon, Dicky Mamoribo, Ian, Sandy, Boyke), dan Asian Roots (Jimmy, Dewi, Robby, Ade Zairi, Cendi Luntungan, Morgan, Iskandar, Hendro, Akhir dan Pram) . Namun dalam prakteknya kedua grup ini saling bahu membahu karena para personilnya sering bertukar pinjam.

Meski memiliki banyak referensi namun UB40, grup reggae asal Birmingham Inggris adalah influence utama bagi Abresso yang seringkali tampil dengan cover version beberapa hits dari mereka seperti Red red wine, Kingston town, dan Here I am (come and take me) ungkap Dommy Feneteruma (vokalis Abresso). Ternyata euforia UB40 memang sangat signifikan saat itu, terbukti dengan munculnya grup reggae lainnya seperti UB-2 dengan dimotori Anci Larici yang memiliki warna vocal mirip Ali Campbell dengan tembang andalan mereka seperti Susi, Nona manis, dan Beda rasa.

Dommy menambahkan, meski begitu ketika berkarya, Abresso sangat unik karena tidak berkiblat ke Jamaika maupun Inggris sebagai jalur masuk musik reggae. Mereka justru menemukan warnanya sendiri.

Signature reggae Papua dapat disaksikan lewat album kolaborasi dengan grup vokal Rio Grime sebelum Abresso resmi terbentuk. Hampir seluruh personil Abresso menjadi session player dalam proses pembuatan album. Sentuhan duo Abresso, Akon dan Robby sebagai penata musik dalam tiga album Rio Grime bersama JK Records ini menciptakan komposisi masterpiece yang unik dalam mengintegrasikan reggae ke dalam musik daerah.

Hentakkan ritmik khas tari Yosim Pancar yang terinspirasi dari alam Papua tetap terjaga, menciptakan racikan magis yang begitu menghipnotis seperti terdengar lewat hits Irsinggit, Sewirya, Hendang mak hendang, Wayawai windawe, Kawarine, dan Yawa uraki. Menghasilkan suatu karya seni yang tidak sekedar ‘mimicry’.

Membuat karya tersebut dibawa pada posisi yang sublim serta tidak sekedar fetish atau memuja dan mengulang-ulang yang sudah pernah ada sebelumnya. Itulah kira-kira yang bisa digambarkan tentang reggae versi kolaborasi ini. “Dengan kejujuran, menyanyi dari hati, semoga mendapat tempat di hati.”  inilah motto mereka, menurut sang vokalis, Dommy.

Sayangnya sepanjang karir bermusik, Abresso hanya menghasilkan satu album saja yang dirilis pada tahun 1997. Alkisah album ini digarap oleh Leonard Kristianto, anak dari Judi Kristianto, pemilik JK Records yang disinyalir menjadi proyek pertama sekembalinya dari sekolah musik di Amerika. Selain itu dalam komposisinya nuansa pop ternyata lebih kuat ketimbang reggae meski secara kuantitas 50-50. Abresso memang tidak ‘pure’ memainkan reggae. EP ini berisikan 8 lagu: I wonder yang dibawakan dalam dua versi (pop dan reggae), Ada apa, Mari bergoyang, Aku tak percaya, Gombal, Sa tra mau (saya tidak mau), dan I’ve been thinking of you.

Abresso Formasi 1997. (Ket Foto, kiri ke kanan: Ian Gebze (gitar), Akon Bonay (bass), Dicky Mamoribo (Keys), Boyke
Pattipelohi (drum), dan Sandy Bethay (vocal).

Setelah album ini, Abresso vacuum cukup lama hingga ‘revivalnya’ pada tahun 2005 dengan formasi wajah baru seperti Dommy Fenetiruma (vocal), Jacoba Womsiwor (vocal), Pilatus Daisiu (gitar), Jonna dan Ari (backing vocal). Mereka masih terus bergeliat lewat berbagai pentas dan sempat hendak merekam album kedua. Namun setelah kepergian Akon dan Boyke Phu untuk selamanya menghadap Sang Khalik, langkah Abresso seolah turut terhenti.

Abresso formasi 2005. Ket Foto kiri ke kanan: Akon, Dicky, Jonna, Boyke Phu, Ari, Robby & Dommy (duduk)

Meski tidak tenar secara nasional namun Abresso mempunyai andil dalam mempengaruhi lahir dan tumbuh kembangnya grup reggae lain di Indonesia seperti Rastafara, Jamming, dan masih terus berkembang dengan beragam outfit hingga saat ini. Nama Abresso layak terpatri dalam perjalanan sejarah musik Jamaika di Indonesia.

(penulis:yedi, editor:sam)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like