Tony Q Rastafara

Resonansi Magnetis Dalam Sebuah Konsistensi

Edisi pamungkas dari momen spesial HUT Kultur yang pertama pada bulan Agustus ini kami menyuguhkan satu liputan eksklusif melalui sesi tanya jawab dengan salah satu figure ‘core’ dalam dunia musik reggae di Indonesia. Ia adalah nukleus yang senantiasa memancarkan resonansi Jamaican music secara intens dan konsisten selama empat dekade.
Tony Waluyo Sukmoasih, laki-laki asal Semarang yang dikenal dengan nama Tony Q ini boleh dikata adalah pejuang sejati musik reggae di tanah air. Sepak terjangnya bersama grup legendaris Rastafara yang dibentuknya pada tahun 1994 silam memang tak perlu disangsikan lagi. Seseorang yang berwibawa, ramah, rendah hati, serta penuh konsistensi dan dedikasi dalam menjalankan passion yang sangat dicintainya ini.
Melalui sambungan video conference dari Bali lokasi ia menetap saat ini, Kultur mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap secara akrab dengannya. Dalam moment special ini pula Kultur menyoroti sisi unik darinya yang dirangkumkan dan dibagikan kepada para pembaca sekalian. Berikut hasil reportase kami bersamanya. 

Kenapa memilih memainkan reggae? apakah hanya karena “witing tresno jalaran soko kulino?” ataukah ada dasar pemahaman tertentu terhadap musik ini?

Ya, ketertarikan dengan musik reggae sebenarnya tidak semata-mata terhadap musiknya ya tapi mungkin lebih kepada filosofis musik reggae itu sendiri. Yang isinya adalah bagaimana musik reggae diperuntukkan untuk sebuah perjuangan. Kalau Bob Marley bilang itu untuk menyamakan perbedaan warna kulit, memperjuangkan perdamaian, dan seterusnya. Buat saya pribadi itu yang paling penting! Jadi bukan sekedar musiknya tapi isinya juga hal-hal yang menyangkut soal kemanusiaan.

Oke kesadaran seperti ini sedari awal atau ‘gradually’ seiring perjalanan mas Tony setelah berkenalan dengan musik reggae?

Ya pada saat itu sebenarnya saya lebih gandrung ke Bob Dylan ya. Bob Dylan itu mungkin dia tokoh country atau tokoh apapun namanya yang akhirnya menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak manusia seperti itu. Nah pada saat mempelajari musik reggae dan tentunya Bob Marley saya lalu merasa bahwa itu ‘similar’ dengan Bob Dylan, ‘similar’ juga dengan diri saya gitu. Karena pada saat itu saya merasa bahwa waktu saya di jalanan itu rata-rata juga memperjuangkan hak-hak manusia, memperjuangkan keselarasan kehidupan terhadap perbedaan warna kulit, perbedaan agama, seperti itu. Jadi pada saat mengenal reggae itu sudah otomatis saya tertarik dengan itu karena sepakat dengan apa yang diperjuangkan oleh musik reggae itu sendiri. 

Masih berkaitan dengan pertanyaan sebelumnya. Ada beberapa definisi dan genealogi reggae tapi apa arti reggae bagi seorang Tony Q?

Kalau secara personal reggae sudah menjadi bagian dari kehidupan saya dan bagian dari bagaimana memperjuangkan hidup ini. Ada hiburan, ada kritik sosial, kritik politik dan segala macam yang menyangkut kehidupan yang kita jalani setiap hari. Jadi kita dibawa untuk selalu bagaimana sadar, bagaimana setiap hari kita harus mengkritisi diri kita, mengkritisi situasi. Jadi reggae buat saya, adalah sebuah kehidupan yang memang perlu diperjuangkan gitu. 

Baik, itu nampak sekali kalau kami mendengarkan lagu-lagunya mas Tony. Namun bagaimana tanggapan mas Tony soal orang yang mendengarkan ataupun datang ke konsernya mas Tony untuk sekedar bersenang-senang dan berjoget karena musiknya sementara ‘missed’ atau tidak terlalu mengindahkan pesan-pesan yang disampaikan mas Tony lewat lirik lagu. Bagaimana tanggapan mas Tony tentang hal ini?

Jadi gini, buat saya manusia cenderung menikmati hal-hal yang mungkin sifatnya pertama kulit dulu. Setelah kulit baru masuk ke areal sesi ke dua, sesi ketiga, akhirnya sesi pendalaman. Mungkin anggaplah dalam satu kelas itu kan nggak semuanya menyukai atau langsung mengerti pelajaran yang diajarkan. Biasanya ada waktu yang sangat berbeda untuk setiap manusia. Jadi orang datang ke konser menikmati kesenangan sebuah party ya it’s ok, nggak ada masalah dengan itu. Tapi ada titik titik tertentu yang mereka akan menjadikan itu sebuah patokan-patokan yang akhirnya mereka dalami. Dari musik kemudian mendalami sebuah syair dan akhirnya menimba sesuatu darinya. Makanya bisa dikatakan musik itu bisa menjadi syiar. Seperti di sekolah kalau mendengarkan seorang guru yang keras kadang-kadang apa yang disampaikan nggak masuk dalam kepala kita tapi kalau guru kita santai, kita dibawa senang maka pelajaran akan masuk, nah kira-kira begitu. Jadi kita nggak bisa salahkan kalau ada orang datang ke sebuah konser dan mereka bersenang-senang, saya pikir itu sah-sah aja. Tapi saya meyakini bahwa setiap musik, setiap lirik, setiap apa yang kita sampaikan dalam bentuk apapun pasti dari 1000 orang mungkin akan ada sekian persen yang nyangkut. Nah yang nyangkut itu akan menularkan ke beberapa teman-teman yang lain juga. Jadi saya sebagai pelaku musik reggae tujuannya adalah musik ini bisa menjadi sebuah hiburan sekaligus menjadi sebuah syiar kebaikan.

Mas Tony identik dengan reggae “versi Indonesia” dengan infusi unsur etnis (Jawa, Bali, Sumatra). Suatu apropriasi reggae yang unik dan otentik. Tapi bagaimana menanggapi sebagian orang (terutama orang tua, ataupun kalangan esensialis, nativis anti progresif) yang mengatakan kalau reggae bukan budaya kita? Bagaimana merespon pernyataan seperti ini dan membuat statement atau semacam “encouragement” untuk anak-anak muda yang mungkin juga tengah berjuang dengan eksperimen reggae yang serupa?

Ok, sebenarnya musik itu kan tidak ada yang murni ya. Bahkan musik itu selalu menggeliat, selalu menjadi terus. Kalau kita bicara musik modern akar musiknya adalah blues dan segala macam. Tapi itu juga kan ter influence, saling menginfluence dan akhirnya menjadi dirinya masing-masing. Nah kenapa saya memasukkan unsur-unsur etnis? Karena saya realistis bahwa saya orang Indonesia yang memang mempunyai beragam kebudayaan yang berbeda. Kalau bicara soal musik barat dan orang tua bilang tidak bagus ya sebenarnya karena cara pandang mereka yang berbeda terhadap musik itu sendiri. Musik itu biasanya dilahirkan oleh sebuah tradisi yang katakanlah kalau kita bicara zaman Sunan atau zaman dulu itu musik digerakkan untuk memberikan sebuah masukan pada masyarakat yang saya sebut syiar tadi. Salah satunya Sunan Kalijaga melalui musik Jawa dengan lirik yang bisa membuat orang menerima musik itu. Dan ketika saya mendengar musik luar hampir semuanya beradaptasi dengan musik daerah mereka masing-masing. Nah bagi saya, kenapa tidak? Karena kan musik di Indonesia banyak sekali, ada Sumatra, Kalimantan, Papua, Bali, Jawa. Jadi unsur-unsur tradisional itu saya masukan karena memang musik itu harus tetap menggeliat dan bereksplorasi. Karena tanpa eksplorasi musik itu tidak maju. Contohnya kita berbicara asal muasal musik keroncong yang tumbuh dan berkembang menjadi keroncong yang sedemikian rupa sampai ke Papua itu masing-masing punya suatu taste, suatu rasa yang mewakili daerahnya, bahasa, cara mukul, notasi segala macam dan itu terus berlangsung. Seperti juga reggae yang sebetulnya berasal dari ska dimana ska terinfluence dari musik di Amerika seperti boogie woogie, rock n roll dan segala macam. Kemudian akhirnya berkembang dicampur dengan mento, musik Kribian, musik Inggris, segala macam dan akhirnya jadilah reggae, seperti gitu. Jadi jangan takut untuk mengeksplorasi sebuah musik. Saya sebagai pelaku tetap mengeksplor bagaimana musik itu tidak boleh mati dalam sebuah dekade, dalam bentuk yang pakem. Karena konsep saya pribadi, tidak ada musik yang pakem. Jadi orang boleh eksplore musik apa aja. Kalau orang tua kita tidak suka dengan itu tidak apa. Kita tunjukkan apa yang kita lakukan itu memiliki tujuan yang baik. Dalam konteks musik kamu bisa eksplore, dalam konteks lirik kamu bisa memberikan sesuatu yang mengilhami, meng influence, memberikan tujuan yang baik buat masyarakat. Semua musisi pun begitu. Bob Marley memberikan influence terhadap masyarakat Jamaika supaya bangun dengan Get Up Stand Up nya, Bob Dylan mengkritisi bagaimana perang Vietnam harus dihentikan. Dan masih banyak lagi, musik akan terus seperti itu.  

Tapi mas Tony sendiri pernah mendapat penolakan atau semacam kritik soal ini?

Oh selalu, kalo penolakkan itu selalu. Makanya kan kita harus teguh dengan apa yang sudah dilakukan. Saya tidak peduli dengan orang yang bilang bahwa wah musikmu begini, musikmu begitu, nggak peduli saya. Karena bagi saya musik tidak ada pakem. Harus begini harus begitu, musik reggae harus seperti Bob Marley, nggak! Orang bebas menentukan eksplorasinya, orang bebas menentukan imajinasinya. Dalam mengangkat imajinasinya itu kan di awang-awang kan?! Saya tangkap, saya bikin sesuatu, saya eksplore, saya aduk-aduk, saya rekam, saya lempar ke public. Ada yang suka, ada yang nggak suka, biasa [tertawa]. Nggak semua orang suka, nggak apa. Karena musik kalau kita meminjam kata Louis Armstrong (juga Duke Ellington), tokoh jazz, itu cuma ada dua: enak dan tidak enak, tergantung siapa yang mendengar. Ada yang bilang tidak enak, ada juga yang bilang enak. Namun eksplorasi itu memang harus terus, apa lagi saya kan memilih panggilan hidup di musik ya. Artinya ini harus menjadi sesuatu yang akhirnya punya manfaat buat orang lain, tidak sekedar menghibur tapi juga menjadi syiar. Menjadi hiburan dan juga menjadi ilmu. Mungkin bisa membuat orang lebih semangat hidup. Jangan orang sudah terpuruk kita kasih musik yang bikin orang putus asa [tertawa]. 

Mas Tony ini kan ada mendapat berapa julukan dari penggemar musik reggae di Indonesia seperti bapak reggae Indonesia, President reggae Indonesia dan juga the ‘living Legend.’ Nah mas Tony personal tanggapannya gimana?

[tertawa] Saya pernah bilang berkali-kali pada teman-teman yang mempertanyakan hal yang sama. Bahwa bagi saya tergantung bagaimana masyarakat atau mereka yang mengetahui tentang siapa Tony Q Rastafara. Artinya mereka memberikan julukan itu atas dasar pemikiran mereka, bukan dari saya pribadi. Kalau saya pribadi, saya tidak pernah ingin sebutan-sebutan itu, tapi itu terserah mereka. Karena bagaimanapun nama saya Tony Waluyo Sukmoasih, dalam musik disebutnya Tony Q Rastafara, kan gitu kan? [tertawa]. Jadi kalau publik menyematkan nama apapun buat saya yah itu terserah mereka. Saya tidak bisa mengiyakan tapi juga saya tidak bisa melarang mereka. Artinya biarlah ini berlangsung seperti apa adanya, yang penting semua orang senang, gitu [tertawa].

Sedikit kilas balik awal terbentuknya Rastafara, dan apa yang membedakan mas Tony ketika masih bersama Rastafara dengan mas Tony yang bersolo karier? Mungkin dari segi musik atau penciptaan lirik?

Rastafara dibentuk tahun 1994 dan 1995 kita teken kontrak rekaman di salah satu perusahaan (Musica/Hemagita Records). 1996 kita rilis album pertama ‘Rambut Gimbal.’ Sebenarnya niatan awal itu memang band kafe. Ya, kita berjalan dari band cafe. Terus ada niatan saya untuk membuat sebuah recording. Karena memang sebelumnya saya sudah pernah rekaman pada saat masih di jalanan dan saya ke Jakarta memang untuk itu, mau berkarya gitu. Nah kafe itu adalah salah satu lompatan aja. Lompatan sebuah perjalanan hidup bahwasannya mungkin bisa menginjak karir dari situlah. Saya memberikan nama band itu Rastafara. Terus membuat sebuah demo. Yah memang pada saat itu yang paling siap saya. Saya yang mengajak teman-teman bergabung. Jadi saya cari orang satu per satu, dari band sebelumnya tahun 1989 namanya ‘Roots Rock Reggae.’ Awalnya band itu terus bubar ganti sampai akhirnya terbentuklah Rastafara. Rastafara itu terbentuk dari perjalanan yang ganti-ganti band. Jadi orang yang di Rastafara itu termasuk orang-orang yang pada saat itu baru mengenal musik reggae.

Itu berarti yang memperkenalkan musik reggae dari mas Tony?

Ya, iya. Saat saya membentuk grup itu hampir semuanya tidak tau musik reggae. Dari ‘Roots Rock Reggae’ ke ‘Exodus’ sampai ke ‘Rastafara.’ Itu hampir semua pemain-pemain itu tidak tau reggae. Jadi saya rayu, [tertawa] saya ajak bermain musik reggae, begitu ceritanya. Apa itu reggae? saya perkenalkan. Nah dari proses-proses itu akhirnya mereka belajar kan?! Dan memang mungkin karena saya dari 1989 sudah menggelutinya, ya otomatis yang paling pengalaman di dalam situ saya, gitu. Nah begitu masuk Rastafara tahun 1994 yang paling siap saya. Jadi saya sudah siap dengan lagu-lagu yang akhirnya jadi album pertama itu, gitu. 

Apa yang membedakan mas Tony di Rastafara dan yang bersolo karir?

Perbedaan mendasarnya adalah kalau di Rastafara dulu dia pakai nama band. Perpindahan tahun 1999 ke 2000 band ini bubar. Jadi saya yang bentuk, saya yang bubarin [tertawa]. Nah baru solo, di solo karir itu album pertamanya “Damai Dengan Cinta.” Solo pertama ini sebenarnya pemainnya masih Rastafara semua. [tertawa] 

Tapi apakah para eks-personil Rastafara ini keberatan mengiringi mas Tony yang bersolo karir?

Nah justru di situ sebenarnya saya diuji sebagai teman dan juga sebagai professional begitupun dengan mereka. Kalau saya memberikan sebuah job kepada teman-teman yang sudah pisah dengan saya itu atas dasar professional. Kira-kira keberatan nggak kalo saya ajak sekalian untuk recording mengiringi album saya? Jadi saya tidak campur tangan dalam konteks finansial. Ada orang yang mengerjakan itu sendiri. Akhirnya ada album solo saya, walaupun pengiringnya itu Rastafara, gitu [tertawa]. Karena sebagai pribadi saya tetap mengapresiasi.

Dari mulai judul hingga lirik lagu yang ciptakan mas Tony banyak makna filosofis di dalamnya. Apakah mas Tony gemar membaca karya sastra? Jika iya, karya sastra siapa yang jadi kegemaran mas Tony dan kenapa?

Waduh, itu banyak sekali. [tertawa] Kalau bicara bacaan buku saya punya kebiasaan membaca. Sekarang juga lagi membaca ini. Banyak karya-karya yang saya baca tapi saya tidak pernah hafal dengan para sastrawannya. Saya punya banyak teman-teman sastrawan seperti di kompleks Bulungan itu.  Termasuk Radhar Panca Dahana] dan Mas Aji ya hampir semuanyalah. Karya Amin Kamil, puisi-puisi Dharmono dan Gus Mus. Hampir semuanya saya pernah baca, gitu.

Dalam setiap penampilannya mas Tony suka memberikan aransemen tambahan pada beberapa lagu. Apa yang menginspirasi mas Tony kerap kali memberi sentuhan tambahan? Apakah ini ide dari mas Tony sendiri atau hasil diskusi ketika sedang Latihan bersama band? 

Saya sama band itu hampir 10 tahun terakhir sebelum pandemi itu nggak pernah latihan, jujur ya [tertawa]. Saya Latihan itu kalau diminta oleh sebuah televisi aja. Latihannya untuk sound check bukan latihan yang serius. Jadi pada saat latihan ketemu ngobrol aja. Eh tau lagu ini nggak? Kuncinya paling di sini udah, ngejam-ngejam mainkan, gitu. Begitupun recording nggak pernah satupun pemain band yang tau lagu apa yang dimainkan. Jadi saya telepon, ayo besok rekaman, yang siyap siapa dulu nih? kaya gitu. Jadi kita nelpon-nelpon aja, datang studio rekaman lagu baru. Masuk dengerin sebentar, udah main [tertawa].

Tapi mas Tony dalam mengaransemen musik itu suka berdiskusi nggak dengan personil lainnya? Dengan mas Yus Panigoro mungkin? Atau dengan personil lainnya gitu?

Diskusi hanya memberikan masukkan saja kepada mereka bahwasannya lagu ini berkisah tentang apa, suasananya bagaimana, gitu. Jadi dari situasinya aku butuh sound seperti ini, coba dicari! Nah di situ umpama pemain keyboard, dia cari sound yang kira-kira aku setuju. Atau mungkin dia punya ide yang bagus, terus aku dengerin. Kalau O.K itu bisa dipakai, kaya gitu lah. Efektifnya begitu. Terus jadinya seperti apa ya kita kerjakan bersama-sama.  

Langgam suara mas Tony begitu berkarakter dan penuh karisma. Apakah ada cara khusus dari mas Tony dalam menjaga energi suaranya? Mungkin minum jahe misalnya? Atau bagaimana mas Tony? [tertawa] 

Ini nih bikin nggak enak nih [tertawa]. Sebenarnya nggak ada cara khusus memelihara suara. Saya bukan seorang penyanyi yang benar-benar kaya American idol atau Indonesia idol gitu. Saya hanya menyuarakan isi hati. Jadi kadang kalau kita bicara suara, ya suaraku kaya gini. Kamu suka silahkan, nggak suka ya nggak apa. [tertawa]

Trend berkolaborasi tengah menghangat saat ini. Jikalau mas Tony bisa memilih siapapun baik dari musisi lokal maupun internasional untuk berkolaborasi, siapa yang akan mas Tony pilih?

Kalau lokal saya sudah pernah punya album [kolaborasi] judulnya ‘Menjemput Mimpi.’ Itu kolaborasi dengan Roy Jeconiah, Nugie, Candil, Vicky Burgerkill, dan Melanie Subono. Tapi kalau untuk dunia sebenarnya banyak yang saya inginkan untuk berkolaborasi. Tapi kan saya orangnya selalu realistis. Keinginan itu bisa terbentuk dalam konteks bahwa pada saat ingin sesuatu yang menggebu dan betul-betul ada ‘feeling’ ke sana, akan saya capai itu. Tapi kalau nggak maka saya hanya coba memelihara mimpi saja.

Mungkin ada beberapa nama?

Oh banyak. Ya mungkin dari keluarga Marley, salah satunya. Mungkin juga dengan Bono (U2) bisa aja kan?! [tertawa]

Untuk pemilihan kolaboratornya itu atas dasar apa atau kriterianya apa saja?

Pertama atas dasar karakter. Kedua atas dasar mereka punya kontrak apa nggak [tertawa]. Iya memang, karena ada beberapa yang pada saat itu punya kontrak sehingga nggak bisa. Jadi saya coba komunikasi secara pribadi, bukan secara professional. Tidak melalui manajemen, karena saya memang benar-benar niatnya secara pribadi. Makanya saya hubungi secara pribadi semua. Akhirnya dapat beberapa orang yang ada di album itu [Menjemput Mimpi].

Di era digital saat ini perkembangan musik Jamaika di tanah air kian berkembang dan para pelakunya menyajikan sesuatu segar seperti mulainya kultur Jamaican sound system atau DJ dan MC yang lebih dikenal dengan musik reggae dub. Apa pandangan mas Tony tentang perkembangan ini? Dan apakah mas Tony tertarik untuk berkolaborasi dengan salah satu unit kultur sound system yang ada di Indonesia ketika ditawari?

Buat saya pribadi perkembangan musik itu menarik ya. Maksudnya banyak penggiat-penggiat yang sudah mengembangkan jenis musiknya, perilaku musiknya, membuat sesuatu yang memang berkembang menurut apa yang mereka mau. Saya sangat tertarik dengan siapapun untuk berkolaborasi. Tapi tentunya saat berkolaborasi dengan orang lain itu saya selalu pertimbangkan bagaimana lirik yang akan saya nyanyikan. Itu harus saya pertimbangkan. Itu yang terutama. Karena beberapa tahun terakhir sebelum pandemi ada banyak tawaran berkolaborasi. Tapi pada saat saya coba untuk telaah lirik-liriknya saya kurang tertarik. Jadi kalau liriknya itu benar-benar saya setuju dengan visi misi saya, ya saya mau. Tapi kalo liriknya tidak cocok dengan visi misi saya ya mungkin mereka bisa cari pilihan lainnya gitu.

Kalau seandainya yang menawari mas Tony itu produser? Jadi hanya memproduksi musiknya saja tapi lirik seratus persen diserahkan ke mas Tony?

Kalau kolaborasi itu kan sebenarnya bisa apa saja ya. Maksudnya musik bisa saling mengisi, lirik juga bisa saling mengisi sebenarnya. Tapi kalau lirik diserahkan pada saya, insya Allah sanggup lah. Cuman masalahnya adalah pasti ada kondisi-kondisi tertentu yang menentukan apa memang kita akan bisa klop atau tidak. Tapi saya percaya bahwa tidak ada yang kebetulan [tertawa]

Jikalau mas Tony hendak beralih ke genre lain, kira-kira mas Tony akan membuat musik apa? Siapa musisi atau band favorit mas Tony di luar genre reggae?

Kalau berandai-andai jelas saya akan memainkan musik rock. Karena memang saya lahir dan besar dengan background musik itu. Blues dan rock. Zaman waktu masih sekolah saya banyak mendengarkan musik-musik itu. Seperti The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Genesis. Bahkan di era metal pun saya juga sempat memainkan musik metal [tertawa].

Itu musik metalnya apa waktu itu? Masih ingat nggak mas Tony?

Metallica, Sepultura, Megadeth, lalu musik musik macam Ronnie James Dio, Led Zeppelin dan Kansas. Sampai sekarang masih dengar musik-musik mereka. Banyak sih, terlalu banyak [tertawa].

Asimilasi antara budaya reggae dari Jamaika melalui seorang Tony  Waluyo Sukmoasih memberikan sebuah sentuhan keIndonesiaan. Apakah mas Tony setuju kalau kami menyimpulkan keIndonesiaan dalam reggae yang saat ini berawal dari mas Tony?

Saya nggak bisa bilang begitu. Saya pribadi nggak bisa menyetujui atau nggak setuju. Kalau saya bilang setuju nanti ada orang yang nggak setuju [tertawa]. Artinya kita serahkan pada public.

Tadi mas Tony bercerita bahwa reggae itu seyogyanya menyamakan frekuensi kemanusiaan. Kita tidak lagi membicarakan perbedaan warna kulit, tidak lagi membiarkan ketidakadilan tumbuh, tidak lagi membiarkan perbedaan-perbedaan tentang agama dan seterusnya. Simple question, “are you a religious person?”

[tertawa] Bisa kamu jelaskan maksud kamu religi itu seperti apa coba?

Maksudnya orang religious itu dekat dengan Tuhan atau menjalankan perintah Tuhan?

Kalau saya ditanya agamamu apa, saya bilang agamaku reggae [tertawa]. Jadi gini yang penting adalah merealisasikan lewat perilaku dari apa yang dipercayai setiap orang. Kan begitu kan? Kalo orang punya agama saya yakin banget itu semuanya untuk kebaikan, sudah itu aja.

Di bagian kolaborasi tadi mas Tony menyampaikan bahwa setidaknya harus punya visi yang sama dengan mas Tony. Artinya mas Tony begitu percaya dengan kolektivitas ya? Idenya mas Tony dengan ide pihak lain sama.

Oh iya sama. Bagaimana kita juga kan belajar mengapresiasi setiap orang walaupun kita sebenarnya pribadi yang egois. Aku egois tapi bukan berarti aku egois yang brutal gitu. Artinya aku siap berkolaborasi aku siap bekerja sama asal juga memang sama-sama saling mengerti, gitu kan. Saya mengerti mereka dan mereka mengerti saya. [tertawa]

Dari yang kami tau mas Tony ini sosok yang sangat baik terhadap para fansnya. Walaupun tidak dekat tapi mas Tony selalu mengakomodir mereka. Apa arti dan peran fans dalam perjalanan karir mas Tony? Pengaruh terbesar mereka apa?

Pengaruh terbesarnya ialah saya prinsipnya dari dulu semakin banyak teman semakin asik. Itu dituangkan dalam lagu dan hidup saya. Saya typical orang yang ke mana-mana ingin punya teman. Itu kemudian menjadi sebuah visi misi saya, bahwa alangkah indahnya kalau tiap orang itu punya banyak teman gitu. Hampir semua fans yang sudah dekat itu menjadi teman. Semakin banyak teman semakin suka saya, itu prinsipnya. Flashback ke belakang ya, waktu dulu kita main di kafe. Setiap tamu selalu saya kunjungi, saya perkenalkan diri, dan saya ajak ngobrol. Besoknya lagi dia datang bawa teman lagi terus dan terus akhirnya jadi banyak penggemar gitu. Begitu juga dalam lagu. Saya bisa tau persis bagaimana masyarakat kalangan bawah seperti apa. Karena saya bergaul dengan mereka. Saya tahu persis kesusahan apa yang mereka alami, karena saya benar-benar ikut didalam kehidupan seperti itu. Saya melakukan itu dan saya mengalami hal itu. Saya hidup di jalan, ngitung uang diemper toko, saya ngalamin itu. Jadi sangat berharga fans buat saya. Sangat, sangat berharga.

Seperti lagu ‘Om Funky’ ya mas Tony. Itu terinspirasi dari kisah nyata atau kisah salah satu fans ini?

Itu hanya imajinasi [tertawa].  Tapi kalau ternyata ada kejadian seperti itu ya, kebetulan saja pas. Nggak apa juga kan, kalau ada seseorang yang ternyata sama ceritanya yah kita persembahkan saja lagunya untuk orang itu [tertawa]. Jadi saya membayangkan alangkah indahnya kalau ada om Funky di mana-mana, karena karakternya seperti om Funky itu.

Ada adagium bahwa para penulis itu menyuarakan apa yang mereka pikirkan atau apa yang mereka bayangkan. Dalam karya mas Tony from the early years sampai sekarang, hasil dari olah pikir di lirik lagu mana yang paling berkesan buat mas Tony?

Hampir semuanya itu anak kandung saya, nggak ada anak tiri [tertawa]. Itu hampir semuanya anak kandung, jadi nggak ada yang paling istimewa.

Kalau misalnya berandai-andai kami bercita-cita suatu saat membuat album Dub untuk lagu-lagunya mas Tony. Gimana caranya ya mas Tony supaya itu bisa terwujud? Kami harus apa mas Tony? 

Supaya terwujud ya harus dilakukan [tertawa]. Kalau nggak dilakukan ya mana bisa.

Melanjutkan itu apakah mas Tony masih safe data-data vocalnya, minus one nya atau acapella nya?

Nah ini yang dikatakan bahwa sebuah proses jaman kadang-kadang nggak bisa kita hindari ya. Ada beberapa album yang memang benar-benar datanya hilang. Album ‘Salam Damai’ itu datanya hilang, album ‘Anak Kampung’ juga.  Yang ada itu album ‘Presiden.’ Terus aku sempat rilis lagi album ‘Rambut Gimbal,’ kira-kira mungkin 5 atau 6 tahun yang lalu. Jadi akhirnya kita punya data dengan versi baru dari album itu.

Putumayo menjadi sesuatu yang menarik dibicarakan untuk memberikan motivasi bagi pemusik-pemusik yang jauh lebih muda dibanding mas Tony. Jadi sebaiknya originality dalam reggae untuk Indonesia itu kita-kita yang muda harus mulai dari mana mas Tony? Saran dari mas Tony, nasehat atau wejangan?

Mulai dari mana? Mulai dari hari ini, saat ini harus menulis [tertawa]. Kalau nggak menulis dulu lagunya ya nggak jadi lagu.

Jadi sebaiknya memang langsung dipraktekkan, ambil gitar, ambil keyboard atau apapun langsung ditulis?

Iya, begitu ada ide langsung tulis. Entah itu direkam di handphone atau ditulis dibuku dulu, apa saja terserah pokoknya harus dikerjakan aja.

Mas Tony dibilang sosok yang bisa berada di bintang 5 dengan santai tapi juga bisa mengalami kaki lima dengan santai. Bagaimana sih cara seorang Tony Q menikmati hidup?

Caranya gampang. Jangan acting! [tertawa]. Saya ikut teater dua tahun, dalam teater saja kalau kita acting itu sangat capek, apalagi dalam hidup [tertawa]. Yang penting itu, nggak usah acting saja. Lalu masuk di mana saja nggak ada beban apa-apa.

Reggae sekarang massive dan berkembang pesat di Indonesia. Mas Tony sudah punya tanggapan positif soal itu. Tapi yang kami ingin sebuah kritik dari mas Tony. Apa saja yang mungkin tidak sesuai dengan harapannya mas Tony misalnya, demi tumbuh kembang reggae di Indonesia yang baik?

Kalau kritik sebenarnya kita nggak bisa juga mengkritik orang dengan kemampuan yang mereka punya. Tapi mungkin secara pribadi aku punya sudut pandang aja, bukan kritik. Sudut pandang saya memang banyak sekali sekarang band-band reggae cenderung seperti band-band pop. Dia ikuti alur popular. Tapi itu nggak salah, ini hanya pandangan saja. Artinya secara massive band-band ini ingin cepat terkenal, ingin cepat mencapai sesuatu. Jadi secara kebudayaan itu seperti budaya pop. Ingin menjangkau cepat, ingin instan seperti itu. Walaupun saya pribadi bilang itu juga tidak masalah. Setiap orang punya proses untuk menciptakan sebuah karya. Saya maklumi itu, biarkan itu mengalir seperti apa adanya gitu. Karena buat saya pribadi tidak bisa memberikan tuntutan atau tidak bisa mengkritisi semua hal. Nggak bisa begini, kamu harus begini, nggak bisa. Itu hak mereka itu kemampuan mereka. Jadi buat saya pribadi biarkan ini berjalan menurut apa yang bisa dilakukan oleh setiap individu. Reggae harus begini, reggae harus begitu, nggak! Tidak harus begini begitu [tertawa].

Jadi reggae nggak harus gimbal ya mas Tony?

[tertawa] 

Kultur akan merayakan satu tahunnya, boleh kami minta wejangan atau pesan dari mas Tony supaya Kultur sebagai salah satu media alternatif pembagi informasi musik Jamaika di Indonesia bisa berkembang dengan baik mas Tony?

Ya sebenarnya tergantung bagaimana visi misi kalian ya. Dan yang terpenting sebenarnya konsisten, intensitas, dan tidak berharap banyak. Maksudnya yang penting kalian bisa senang aja dulu. Karena kalau melakukan sesuatu dengan senang itu pasti dampaknya baik.

Karena gembira adalah obat ya mas Tony?

Kalau sudah senang kan ada bonus yang lebih baik, jadi lebih senang kan?! Melakukan sesuatu itu dengan yang menurut kalian paling baik lalu ditempuh aja. [tertawa].


(Yedi)

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Gregory Lee

Edisi Khusus: Wawancara Spesial Dengan Gregory Lee (Hepcat)

Guntur “Ophay” Sukarno

Protagonis Dub Dari CIrebon

Masanies Saichu

Sosok pembawa semangat senang senang yang terus membentang.