Quino (Big Mountain)

Untuk yang kesekian kali Joaquin ‘Quino’ McWhinney, pelantun lagu “Baby I Love Your Way” menginjakan kakinya di negeri kepulauan Indonesia. Kedatangannya pada akhir tahun 2022 yang lalu adalah dalam rangka rangkaian show di tiga tempat berbeda di Indonesia yakni Bali, Jayapura dan Medan. Selain melakukan show keliling, ternyata beliau juga tengah menggarap single kolaborasi bersama grup reggae Marapu. Meski di tengah jadwalnya yang padat, Kultur.media bersyukur bisa mendapat kesempatan untuk melakukan sesi tanya jawab dengannya melalui sambungan video conference. Dengan penuh antusias dan ramah Quino bersedia berbagi cerita dengan kita sekalian. Berikut adalah petikan sesi bincang-bincang dengannya:

Bagaimana ceritanya awal mula anda berkenalan dengan musik reggae?

Pengalaman pertama saya dengan musik reggae itu waktu menonton sebuah program berita bersama ayah, saat saya masih berusia 14 tahun. Itu program berita setiap Minggu malam namanya ‘60 minutes in the United States’ dan mereka menayangkan sebuah episode tentang Bob Marley, musik reggae, Rastafari, Jamaika, Ganja, semuanya. Itu kira-kira sekitar tahun 1978 dan tayangan itu sangat berdampak besar pada saya, begitu mencengkram saya ketika itu. Itu pertama kali saya menyaksikan Bob dan pertama kalinya saya mendengar segala sesuatu tentang musik reggae. Bob Marley begitu berbeda. Musik yang ia mainkan nampak begitu penting baginya dan itu bukan sembarangan musik.

Siapa lagi selain Marley saat itu?

Saat itu? Yah untuk sementara hanya Bob Marley saja. Reggae masih jadi sesuatu yang sulit ditemukan. Toko musik tidak memiliki referensinya kala itu. Saya ingat Eddy Grant diputar di radio setelah itu tapi mungkin kira-kira sekitar tahun 1981/82 saya sudah mulai nonton live musik. Saya tidak pernah menonton konser live Bob Marley. Ia sudah meninggal saat itu. Saya ingat teman saya membawa koran yang memberitakan kematiannya. Live band reggae pertama yang saya tonton adalah Steel Pulse dan itu pengalaman yang luar biasa. Saya juga pernah nonton Black Uhuru waktu formasi awal band itu dengan line-up original seperti Michael, Puma, Sly, Robbie. Saya juga sempat lihat Peter Tosh, konsernya bersama Jimmy Cliff. Itu sungguh konser yang menakjubkan. Saya sangat menikmatinya.

Kalau pertama kali bermusik atau ngeband itu kapan?

Pada saat di SMA. Kami biasa ngejam di garasi. Saya tamat tahun 1984, jadi kira-kira sekitar tahun 1983 waktu umur 16 atau 17 tahun saya mulai ngeband. Saya tidak pernah perform secara live bersama siapapun sampai setelah saya tamat SMA saat kira-kira saya umur 21. Awalnya saya jadi backing vocal dan main perkusi di band yang namanya ‘Corner Stone.’ Setelah itu saya buat band sendiri, namanya ‘Rainbow Warriors’ yang kemudian berganti nama menjadi ‘Shiloh’ dan kemudian berubah nama lagi jadi ‘Big Mountain.’ Pertama kali rekaman di studio itu mungkin sekitar tahun 1989 atau 1988. Album pertama keluar sekitar tahun itu bersama band ‘Shiloh.’   

Apakah sekarang anda bersolo karir? Karena anda sering ke Indonesia sendiri. Banyak yang rindu anda tampil bersama Big Mountain.

Ya, saya juga sebenarnya senang datang bareng Big Mountain. Kami masih terus bersama. Setelah selesai dari Bali, tanggal 7 Desember nanti saya terbang ke India dan bergabung dengan Big Mountain. Kami akan main di sana selama tiga minggu. Jadi gitu deh, makanya carikan saya promotor yang mau datangkan Big Mountain, nanti saya bawa mereka [tertawa]. Saya suka terus bekerja kalau lagi nggak sibuk dengan Big Mountain. Saya harus terus kerja. Dan saya senang sekali kalau keluar Amerika. Saya banyak kesibukan di Amerika Latin saat ini, di Meksiko. Tapi  saya suka Asia. Saya sangat menikmati Asia. Tidak banyak band reggae yang tour ke Asia. Saya suka tantangan dan senang traveling sendirian. Sebenarnya bagus juga pergi bersama Big Mountain tapi bepergian dengan band kadang-kadang menciptakan banyak rintangan. Seperti membuatmu sulit untuk bisa bebas berinteraksi dan menghabiskan waktu mengenal orang-orang dan budaya di tempat di mana kamu bepergian.   

Kalau begitu, kapan album baru Big Mountain rilis lagi? Tahun depan mungkin?

Yes! Kami baru saja akan merilis album baru. Singlenya akan rilis bulan Desember ini dan full album rencananya di bulan Maret 2023.

Judul albumnya apa kalau boleh tahu?

Judul albumnya ‘The Return of the Goddess’

Kami perhatikan, anda sudah beberapa kali ke Indonesia. Tahun 2011, anda ikut Indonesia Reggae Festival di Jakarta. Apakah itu pertama kalinya kamu ke Indonesia?

Pertama kali saya ke Indonesia itu sebenarnya tahun 1994. Kami datang untuk melakukan semacam tour promo di Jakarta dan kemudian juga sempat main di Bali dengan Reggae Sunsplash singgah ke Indonesia tahun 1994. Itu tour besar. Ada Big Mountain, Inner Circle, Marcia Griffiths, Freddie McGregor, Maxi Priest, Cindy Breakspeare.

Oh ya? Di Bali? (Kami gak pernah tahu soal ini)

Ya di Bali. 1994, reggae Sunsplash.

Apa yang membuat anda begitu tertarik untuk selalu datang ke Indonesia?

Masyarakatnya. Orang-orang di Indonesia punya keseimbangan hidup yang sangat baik. Perpaduan energi yang baik menurut saya. Sulit untuk dijelaskan sih. Maksud saya, ada banyak orang baik di mana-mana meski ada juga beberapa persoalan atau isu sosial dan politik. Selain itu lingkungan dan alamnya juga indah mempesona. Banyak pantai yang indah, kulinernya juga bercita rasa. Tapi yang utama sih orang-orangnya yang begitu special.

Anda punya banyak sekali katalog lagu, tapi kami mau highlight sebuah karya yang punya koneksi ke Indonesia, yaitu ‘End of the day’ (Hari Kiamat). Sebuah lagu yang ditulis dan dinyanyikan oleh ‘Black Brothers’ band asal Papua, Indonesia. Gimana awalnya mula anda memutuskan untuk membuat rendition lagu ini?

Waktu saya datang tahun 2011. Saya itu diundang sebagai bintang tamu oleh Mr.Boy, promotor dari Indonesia Reggae Festival. Dan projek rendition lagu itu adalah idenya. Dia yang ngajak saya untuk berkolaborasi dengannya jadi saya mengiyakan.

Mr. Boy ini siapa?

Saya kira dalam rekaman itu dia menamakan dirinya Papa Reggae. Tapi dia tuh seorang promotor yang mendanai kedatangan saya waktu itu. Ya, jadi dialah yang mengajak saya berkolaborasi. Itu idenya dan saya menyetujuinya.  

Tapi waktu itu anda tahu kalau itu lagunya Black Brothers?

Ya, saya tahu. Saya tahu August Rumaropen dari Black Brothers, dari Papua. Saya pernah berkolaborasi juga dengan putri dari Agust, nama grup mereka ‘The Black Sistaz’ di Australia. Kami berkolaborasi di lagu berjudul ‘Vision’ yang ditulis dan diproduseri oleh David Tweedie. Waktu itu saya konser ke Port Moresby di Papua Nugini, mungkin sekitar 8 tahun yang lalu dan bertemu The Black Sistaz di sana. Mereka menghampiri saya dan memperkenalkan dirinya lalu bercerita kalau saya telah menyanyikan lagunya ayah mereka dan akhirnya kamipun berkolaborasi. Saya tahu itu adalah perjuangan yang kontroversial dan kita tidak bisa bicara banyak soal apa yang terjadi di Papua. Namun lagu itu merupakan suatu bentuk dukungan terhadap masyarakat pribumi di Papua dan saya mengambil bagian di dalam lagu itu. Album itu didedikasikan bagi masyarakat pribumi di Papua.   

Apakah anda yang menerjemahkan lirik ‘Hari Kiamat (End of the Day)’?

Ya, saya berupaya sebaik mungkin untuk menerjemahkannya.

Kami yakin kalau anda juga memakai musik sebagai media untuk mengedukasi dan membangun kesadaran tentang isu dalam masyarakat. Adakah sesuatu di Indonesia yang mungkin menimbulkan rasa keprihatinan anda dan juga dirasa perlu adanya perhatian khusus atasnya?

Dua minggu yang lalu saya tampil di Jayapura, Papua dan beberapa tentara masuk dan mereka memberhentikan show kami sementara sedang berlangsung. Mereka masuk, dan menggeledah semua pengunjung dan meminta menunjukan kartu identitas. Saya tidak pernah lihat hal semacam ini terjadi di Bali. Jadi, ya perlakuan pemerintah terhadap orang Papua sangat berbeda. Saya sering manggung di Bali dan tidak pernah melihat ada tentara yang masuk dan menghentikan musik. Jadi itu sangat memprihatinkan dan sangat mengganggu. Saya tidak tahu apa alasan dibaliknya namun yang pasti ada isu yang complicated yang pemerintah tidak ingin kita bicarakan dan itu sangat buat tidak nyaman. Kita seharusnya punya kebebasan untuk berbicara, kita seharusnya bisa bebas mengekspresikan diri, kita seharusnya bisa mengutarakan apapun yang kita inginkan. Ada semacam kekangan untuk diam dan itu membuat frustrasi. Tapi saya suka gaya pendekatan Marapu band. Yanto, vokalis Marapu banyak melakukan hal baik dalam mempromosikan Sumba, tanah asalnya dan budaya mereka. Saya jadi tahu ada kebebasan beragama di sana dan itu hal yang positif. Itulah reggae, kita tidak bisa menghentikan sebuah progress dan orang-orang menghendaki kebebasan. Kamu pernah dengar istilah ‘Batu yang dibuang oleh tukang bangunan akan jadi batu penjuru’? (The stones that the builder refused, shall be the head cornerstone). Penggalan syair yang dinyanyikan The Wailers.’ Ide dan perjuangan yang hari ini diajukan mungkin terkesan baru dan aneh tapi di masa yang akan datang itu akan diterima. Apa yang ditolak dan apa yang dikekang oleh pemerintah atau masyarakat pada hari ini kelak di kemudian hari akan menjadi batu penjuru, akan menjadi sesuatu yang dirayakan oleh banyak orang. Jadi hanya masalah waktu betapapun orang itu dikekang sebelum mereka dapat memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Anda punya jadwal pentas yang padat di Indonesia. Mulai dari Timur ke Barat. Sumatra adalah tujuan berikutnya. Apa pandangan anda tentang para penikmat musik reggae di Indonesia?

Senang lihat musik reggae di sini. Orang Indonesia buat reggae sudah seperti milik mereka sendiri. Orang-orang di Indonesia pakai reggae sebagaimana mestinya ia digunakan. Reggae harus dirangkul dan digunakan untuk mengekspresikan harapan-harapan dan kebanggan mereka, kebanggan akan budayanya. Dan juga untuk mengekspresikan kegundahan mereka terhadap system. Jadi seperti itulah cara reggae membuat perubahan dan membantu dalam pemulihan, iya kan? Saya pikir musik reggae adalah alat penting yang sesungguhnya bagi dunia. Kita semua pernah mengalami masa-masa penjajahan saat kekuasaan Eropa begitu kuat mengontrol dunia. Itu terjadi di Indonesia, terjadi di Afrika, terjadi di Karibia. Kini dunia telah melewati masa itu dan kita menemukan banyak cara untuk kembali ke akar kita dan disitulah letak keunggulan musik reggae. Dia menolong masyarakat paska-kolonial. Seperti contohnya saya memiliki akar sebagai orang Meksiko. Saya hidup di negara yang tidak menganggap keberadaan kami orang Meksiko, padahal kami sudah ada jauh lebih dulu di sana. Orang Meksiko adalah masyarakat pribumi. Orang Meksiko adalah orang Indian, iya kan? Jadi kami sudah ada di sana dua puluh ribu tahun yang lalu, mungkin lebih lagi, mungkin empat puluh ribu tahun. Pemerintah Amerika untuk alasan politis tidak menghendaki masyarakat pribumi bersuara. Musik reggae menjadi sesuatu yang bisa merajut masyarakat pribumi kembali pada tanah leluhurnya, menghubungkan masyarakat pribumi kembali ke budayanya sehingga kami bisa pulih. Pulih dari masa penjajahan, perbudakan dan eksploitasi.

Apa tempat paling spesial bagi anda di Indonesia?

Dimanapun tempatnya yang saya bisa menghabiskan waktu bersama dengan orang-orangnya adalah special. Saya tahu kalau di Sumatra ini saya tak punya cukup waktu untuk bisa terkoneksi dengan masyarakatnya namun saya yakin tempatnya pasti indah. Sekarang saya lagi di hotel saja dan kami tidak akan berlama-lama di sini karena itu saya gak kemana-mana. Selain itu saya juga harus fokus untuk perform kami malam ini jadi saya gak mau keluyuran karena nanti bisa capek, iya kan? Bali juga tempat yang asik dan indah. Bali punya pesona tersendiri tapi terlalu banyak orang di sana [tertawa]. Satu tempat yang saya bisa betul-betul menghabiskan waktu bersama orang-orangnya adalah Jayapura, Papua. Orang-orang di Jayapura biasa panggil saya dengan sebutan ‘baptu’ (bapa tua). Mereka sangat respek sama saya. Jadi Papua punya tempat special di hati saya. Di sana ada saudara saya‘’Gorby.’ Semuanya karena saya bisa menghabiskan waktu cukup lama bersama mereka. Tapi Marapu juga telah menjadi tuan rumah yang menyambut saya dengan baik. Saya suka band ini. Saya suka gaya bermusik mereka. Saya pikir Yanto adalah salah satu penyanyi dan penulis lagu terbaik. Jadi begitulah. Saya juga sangat ingin terlibat bekerjasama lebih banyak dengan band ini. Kami sudah merekam sebuah lagu saat di Bali. Sebuah kolaborasi antara Big Mountain, Marapu dan artis dari Chili namanya Tiano Bless, kamu bisa lihat dia di spotify. Ya, kami akan merekam video klipnya hari kamis besok di Bali.

Anda menyebutkan ‘Gorby’ tadi. Anda ke Papua dan buat satu konser bersama dia. Sepertinya ini suatu kolaborasi yang sangat baik, terutama bagi anak-anak Papua di sana. Bisa ceritakan apa yang memotivasi anda untuk berkolaborasi dengan mereka?

Oh itu ada sedikit sejarahnya. Seperti tadi kamu bilang, koneksi dengan Black Brothers dan Rumwaropen bersaudari, mereka adalah teman baik saya dan saya sangat bersimpati dengan pergerakan masyarakat pribumi. Tujuan utama Big Mountain dan alasan menamakan grup band kami dengan nama Big Mountain adalah karena perjuangan kami bersama masyarakat pribumi di Arizona, Amerika Serikat. Masyarakat di sana direlokasi karena sebuah tambang batu bara. Jadi ini merupakan perjuangan sedunia. Sebuah perjuangan masyarakat pribumi untuk bisa mempertahankan ikatan mereka dengan tanah leluhur, kehormatan mereka di hadapan kapitalisme, di hadapan kekuatan global neo-liberal dimana korporasi bisa keluar masuk sebuah negara seenaknya sementara masyarakat gak bisa bikin apa-apa. Bagi orang Indonesia bisa sangat susah untuk dapat visa berlibur di Amerika sementara korporasi di sana bisa dengan leluasa datang ke Indonesia dan mengeruk emas sesukanya. Nah hal semacam ini gak benar dan gak adil. Itu harusnya dianggap illegal. Musik reggae adalah sebuah jalan bagi kita untuk mengubah hal semacam itu. Tapi seperti yang kamu bilang, kita harus tetap menjaga kesadaran dan harus penuh strategi iya kan? Kita tidak bisa berperang terus menerus. Kita harus mencari jalan agar suara kita didengar dengan cara lain selain menggunakan kekuatan militer dan kekerasan karena kita tahu bahwa kita harus terus hidup. Ya, kita mau merubah dunia dan mendedikasikan diri kita bagi perjuangan masyarakat pribumi namun kita juga butuh hidup. Kita ingin lihat anak-anak kita bertumbuh. Kita juga ingin menghabiskan waktu bersama keluarga, berkumpul dan menikmati hidup. Tidak harus terus lari dari ‘Babylon’ iya kan? Jadi ini merupakan suatu bentuk keseimbangan yang susah. Satu hal yang orang tak dapat lawan adalah musik. Musik adalah cara paling powerful bagi kita untuk mengirim pesan-pesan. Dan bagi Papua ia akan menjadi alat penting yang harus dimiliki. Ia memiliki kemampuan untuk mengirimkan pesan dan melestarikan budaya Papua melalui musik. Kita perlu melindungi nyanyian leluhur, nyanyian orisinil leluhur. Kita perlu melindungi budaya dan tradisi. Tidak hanya dengan musik reggae tapi juga dengan nyanyian tradisional. Kita perlu melindungi nyanyian tradisional tapi salah satu cara yang bisa menginspirasi adalah dengan menggunakan musik reggae. Menggunakan musik reggae untuk menginspirasi anak muda untuk turut melindungi dan menjaga  budaya, menjaga bahasa, menjaga ikatan dengan tanah leluhur. Ada begitu banyak cara tapi musik reggae merupakan cara yang paling powerful.

Apakah nanti malam anda tampil bersama GangstaRasta?

Ya, GangstaRasta, Tony Q Rastafara juga. Jadi yah akan seru menikmati reggae ala Indonesia.

Ini pertanyaan standar yang ditanyakan ke setiap tamu Kultur. Reggae untuk party atau reggae yang membangun kesadaran (consciousness)? Apa pandangan anda tentang musik reggae saat ini secara umum?

Well, saya merupakan bagian dari generasi pertama musisi reggae setelah kematian Bob Marley. Dan mungkin juga generasi awal saat musik reggae pertama kali mulai keluar dari tanah asalnya Jamaika. Saya ingat obsesi utama kami waktu itu adalah membawa musik reggae masuk dalam siaran radio. Kami sangat terobsesi dan termotivasi. Gila! zaman itu radio tidak mendukung musik reggae. Dulu gak ada radio yang mau putar Bob Marley. Dan kami pikir itu tidak adil dan salah. Jadi kami mulai buat semacam kompromi agar bisa meloloskan musik kami ke radio. Kami mulai menginfusi sedikit pengaruh R&B, musik rock, dan juga musik rap supaya bisa diterima oleh perusahaan rekaman, radio dan industri musik secara umum. Yang kami lakukan ini sebenarnya adalah upaya untuk memajukan musik reggae. Dan di luar daripada itu, beberapa orang malah salah mengartikan gagasan ini dan banyak orang di seluruh dunia, terutama di dunia industri musik justru lebih mempromosikan dan merayakan bagian party atau senang-senangnya saja tapi tidak begitu menggubris sisi lain musik reggae yaitu sisi revolusinya, tentang perjuangan identitas kultural, tentang repatriasi post-kolonial kepada negeri leluhur dan budayanya. Saya salah satu orang yang bila perlu hanya ingin memainkan musik reggae roots saja. Tapi hidup menjadi sedikit rumit. Saya berharap hidup akan jadi lebih mudah, gak ribet. Saya ingin hidup di luar Amerika yang kehidupannya tidak terlalu mahal [tertawa]. Saya ingin membawa keluarga saya ke suatu pulau kecil kita bisa memancing dan berkebun tapi itu hanyalah mimpi bukan kenyataan. Kita harus tetap bekerja. Kita harus bisa terus menghasilkan uang. Hidup adalah tentang keseimbangan dan saya pikir Bob Marley sukses dalam melakukan hal ini. Maksud saya, kita jujur saja, Bob Marley adalah seorang penyanyi pop itulah yang membuatnya berbeda dari artis reggae lain dari Jamaika saat itu. Ia tahu bagaimana memadukan musiknya. Ia tahu bagaimana menulis lagu dan beberapa dari lagunya sangat ngepop yang bahkan lebih terkenal dari lagu pop sesungguhnya dan hal ini kemudian dimanipulasi oleh Chris Blackwell dari Island Records. Banyak terjadi overdubs dan paska-produksi yang dilakukan dan Bob menyetujuinya. Kami mengambil strategi itu. Band seperti Big Mountain, Inner Circle, Maxi Priest, Aswad, kami semua pakai strategi itu untuk meneruskan metode Bob dalam mendulang lebih banyak eksposur dan supaya musik mainstream bisa menerima kami. Tidak ada hal baru sebenarnya, kami hanya mengikuti contoh. Tapi sekali lagi hidup itu tentang keseimbangan. Segala sesuatu dalam hidup adalah tentang keseimbangan. Dan yang masih rindu reggae seperti di jaman dulu masih tetap bisa kok. Kini reggae telah mendunia dan ada banyak ragam reggae. Ada yang berpikir bahwa tujuan reggae adalah untuk bersenang-senang. Dan ada pula yang berpikir bahwa reggae untuk mengekspresikan semangat revolusi. Ada yang berpikir mereka yang menemukan musik reggae [tertawa]. Saya sering bercanda kalau dalam komunitas reggae semua orang adalah bintang. Semua orang pikir mereka yang pertama kali menemukan Bob Marley dan semua orang adalah bintang, iya kan? Bahkan orang yang jualan chicken Jerk punya lebih banyak follower daripada saya [tertawa]. Setiap orang buat reggae jadi sebuah perjalanan personal baginya. Dan saya pikir memang seharusnya begitu.

Apa pandangan anda tentang musik dancehall dan artisnya seperti Shenseea, Spice, Vybs Kartel?

Selalu saja akan ada elemen-elemen di dalam musik, iya kan? Itu sangat manusiawi. Maksud saya, tidak mungkin kita menghapus hal tertentu terutama di dunia yang begitu mengekang seksualitas, di dunia yang mengekang tubuh manusia. Mereka berupaya menyangkal tubuh manusia. Kita semua manusia yang bisa merasakan, bisa mencium, bisa melihat, bisa mendengar, bisa menyentuh. Ini hanyalah bagian dari menjadi manusia dan kita semua menginginkan hasrat seperti itu. Bagaimana bisa berhubungan dengan seseorang secara seksual dan merasakannya. Kita tidak bisa selalu melarang dan mendikte orang lain: “oh kamu gak boleh gini, kamu gak boleh gitu, itu haram, dosa” [tertawa]. Ada orang yang begitu militan dan berkata “saya sepenuhnya akan menentang hal semacam itu, dan saya bukan hanya menentangnya tapi akan mencapakannya dalam mukamu.” Namun selalu akan ada saja elemen-elemen lain dalam musik. Seperti kisah mula-mula dalam Injil tentang Babel di mana ia menjadi pusat dosa, prostitusi, perjudian, nafsu seksual, materialisme. Banyak yang berhasrat dan berupaya untuk hidup sesuci mungkin namun jauh di dalam dirinya ada gejolak untuk terlepas bebas. Seperti ingin menegak sebotol wisky dan melupakan dunia ini dan membiarkan pikiran tak terbelenggu oleh perasaan yang mengekang. Bukan tugas kita untuk menghakimi. Saya pikir kita harus melakukan apa yang bisa buat kita bisa tidur pulas di malam hari tanpa ada beban. Sama seperti dalam kisah di Injil yang mengatakan bahwa kamu tidak bisa merajam orang yang melakukan dosa karena kamu pun berdosa. Jadi fokus dengan urusanmu sendiri dan jika ada sesuatu yang mengusikmu maka berilah contoh dengan hidup sesuai dengan teladan yang kamu yakini. Tapi kalau kamu berkeliling dan menghakimi “oh kamu buruk, kamu salah maka tak akan ada habis-habisnya karena seluruh dunia dipenuhi oleh hal-hal buruk yang akan mengecewakanmu. Maka fokuslah dengan apa yang membuatmu merasa utuh dan kamu akan terkagum-kagum.

Tahun lalu ada kontroversi saat SOJA mendapat Grammy. Terjadi polemik karena adanya tuduhan apropriasi budaya oleh artis non-Jamaika (artis kulit putih). Bagaimana menurut anda tentang hal ini?

Well, seperti yang bisa kamu bayangkan, saya pun pernah merasakan hal yang sama. Saya adalah salah satu target awalnya. Itu sangat menyakitkan dan sangat mempengaruhi karir saya. Saya meninggalkan musik reggae selama hampir 10 tahun. Dan sejujurnya Indonesia Reggae Festival adalah salah satu show pertama saya setelah vakum selama hampir 10 tahun. Saat itu saya putuskan untuk kembali kuliah dan menelantarkan Big Mountain tertidur. Saya kemudian mengajar di SMA sekitar 8 tahun. Saya jenuh dengan berbagai kontroversi. Big Mountain banyak mendapat banyak omongan-omongan negatif, tapi saya bisa memahaminya. Dan bukan hanya itu saja, tapi juga persoalan dengan label rekaman. Label rekaman tidak mengijinkan kami untuk melakukan apa yang ingin kami lakukan. Kami begitu dikontrol. Jadi ada banyak hal yang menyebabkan saya memutuskan untuk rehat sejenak. Mungkin juga hal ini yang menyebabkan kenapa Indonesia begitu spesial bagi saya. Show terbesar pertama saya setelah masa rehat itu adalah Indonesia Reggae Festival. Dan waktu itu saya sempat pergi ke Gili dan saya ingat saat tengah di air menikmati pantai yang indah saya merasakan begitu damai dan bahagia yang mengembalikan mood bermusik saya. Sangat senang berada di Indonesia. Saya senang kalau ternyata Big Mountain telah menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. Dan saat di Gili itu saya memutuskan untuk menggimbal rambut kembali [tertawa]. ‘Baby I love Your Way’ rilis tahun 1994 dan saya potong rambut gimbal tahun 1995. Satu tahun kemudian dan saat itu saya rasa sudah jenuh dengan musik. Saya sudah tidak mau jadi Rastaman paling terkenal di dunia lagi. Hampir 15 tahun saya tidak bergimbal dan di Indonesialah saya memutuskan untuk bergimbal lagi.

Jadi Indonesia adalah momentum revival anda?

Ya, betul sekali. Ada sesuatu dari Indonesia yang memberi saya kekuatan dan menginspirasi saya karena untuk beberapa waktu yang cukup lama saya berhenti menulis lagu. Saya berhenti berhasrat. Saya tidak memahami lagi bisnis musik. Saya kehilangan api semangat yang pernah ada bersama Big Mountain di 6 album yang sudah kami hasilkan. Semua yang coba saya lakukan seperti salah semuanya dan saya tidak bahagia. Saya tidak puas dengan major label dan semuanya berbeda sama sekali dari yang saya bayangkan [tertawa]. Jadi saya tinggalkan musik, saya kuliah, belajar dan bekerja sebagai guru. Dan itu baik untuk saya. Sekarang saya kembali ke musik dengan perspektif dan apresiasi yang berbeda.

Menjadi seorang penyanyi reggae sesungguhnya juga adalah menjadi guru, Betul tidak?

[tertawa] Ya betul, betul sekali. Itu adalah salah satu hal yang sangat saya sukai. Saya senang bermain dengan berbagai band. Saya cinta Big Mountain. Saya senang tour dan bermain bersama mereka, tapi bersama band seperti Marapu memungkinkan saya untuk berbagi pengetahuan dan juga bisa terkoneksi dengan masyarakat secara lebih dekat. Mengenal orang dari berbagai latar belakang budaya, di berbagai negara dan bisa berkomunikasi melalui musik itu sungguh sesuatu yang indah.                     

(Yedi)



  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Denny Frust

Motivasi dan keyakinan terhadap sebuah impian dan tawa renyah yang hangat dari sang “Pangeran”

Yanto Marapu

Pesan kultural dan kesadaran sosial nan menawan dari outfit reggae, Marapu.

Sly Dunbar

Wawancara Eksklusif Dengan Legenda Drum Dunia