Di balik dentuman bass dan kabut malam Glasgow, ada sosok yang menjembatani dua dunia: tradisi musik Skotlandia dan kultur sound system Jamaika. Tom Spirals adalah MC dan musisi, sekaligus salah satu penggerak, pendidik, dan penjaga semangat komunitas. Dalam edisi ulang tahun ke-5 Kultur Dot Media, kami merangkum kisahnya—perjalanan dari punk ke dub, dari musik yang jadi pelarian masa remaja hingga sarana membangun solidaritas.

Tom Spirals tumbuh di keluarga dengan tradisi diskusi politik yang kuat. Ayahnya adalah sosok yang selalu membawa perspektif kritis tentang dunia. Pengaruh itu membuatnya sejak kecil akrab dengan gagasan perlawanan. Pada usia 10 tahun ia mulai bermain musik dan tertarik pada punk, genre yang menurutnya selaras dengan energi dan pandangan hidupnya saat itu.
“Ayah saya selalu politis. Jadi saat pertama kali main musik di umur 10 tahun, saya langsung tertarik ke punk. Energinya nyambung sama saya,”
kenangnya.
Saat berusia 10 tahun, Tom memulai pergaulan dengan teman-teman yang lebih tua di komunitas boarding scene, dari situ ia mengenal ska punk. Lingkungan ini—tempat skateboard, pertemanan, dan musik saling terkait—membuka jalan baru baginya. Ia merasa energi upbeat dari ska langsung melekat dan membuatnya ketagihan. “Musiknya terasa kayak denyut nadi saya sendiri,” ujarnya.
Pada usia 15 tahun, Tom Spirals membentuk band bernama Skayaman sebagai ruang awal untuk bereksperimen dengan ska dan reggae. Dari sana ia mulai menulis lagu dan mengembangkan pemahaman tentang ritme. Pengalamannya kemudian berlanjut di festival Knockengorroch, tempat ia pertama kali bertemu dengan Mungo’s Hifi, kolektif sound system asal Skotlandia yang memperkenalkannya pada dunia dub.
“Pertama kali dengar Mungo’s main, rasanya kayak dunia runtuh dan dibangun lagi dengan bass. Saya terhanyut. Nggak kebayang kalau bertahun-tahun kemudian saya tur dunia bareng mereka,”
ujarnya.
Perjalanan musik ini membentuk identitas Tom Spirals. Dari punk yang sarat nuansa politik, berlanjut ke ska, reggae, hingga dub, setiap fase memberi pengaruh yang berbeda. Semua pengalaman itu berpadu dan menempatkan Tom di posisi unik: menghubungkan tradisi musik Skotlandia dengan kultur sound system Jamaika, serta mempertemukan pendekatan lokal dengan wawasan global.

Sound System: Komunitas dan Ekologi
Glasgow, kota kelahiran Tom Spirals, memiliki lanskap musik yang beragam. Di kota inilah ia menemukan ruang kreatif melalui Walk N Skank, acara mingguan yang memperkenalkan kultur sound system secara langsung kepada komunitas.
Dalam acara ini, Tom bekerja bersama Mungo’s Hifi sekaligus berkesempatan tampil dengan musisi tamu seperti Mr Williamz, Charlie P, Senor Wilson, dan Solo Banton. Dari pengalaman tersebut ia mempelajari gaya raggamuffin dan mengembangkan karakter MC yang khas. Selain tampil di panggung, Tom juga berperan sebagai promotor—menangani acara dari awal hingga akhir, meskipun harus dilanjutkan dengan kuliah keesokan paginya. Sesuatu yang ia jalani dengan sukacita.
“Capek, tapi worth it,”
ujarnya.
Walk N Skank sesungguhnya dibangun dari kerja keras, konsistensi, dan kekuatan komunitas. Setelah sepuluh tahun berjalan, acara ini harus berhenti karena pandemi dan perubahan pengelolaan venue. Meski begitu, jejaknya tetap terasa: Walk N Skank memperlihatkan bahwa sound system di Glasgow adalah ruang budaya yang menumbuhkan rasa kebersamaan.
Di luar panggung, Tom Spirals menyalurkan energi kolektif itu lewat The Soundsystem Project. Selama delapan tahun terakhir, ia mengajak anak muda di Skotlandia untuk belajar membangun sound system dari nol—dari peran MC dan DJ hingga hal-hal teknis seperti kabel dan speaker.
“Semua bisa terlibat. Mau MC/DJ? Bisa. Mau ngulik kabel dan speaker? Bisa. Ini soal bikin semua merasa punya tempat di musik,” ujarnya.
Lewat cara itu, musik jadi ruang belajar bersama, tempat orang menemukan kepercayaan diri, sekaligus sarana membangun jaringan yang nyata. Bagi Tom, inti dari sound system bukan hanya bunyi yang keluar dari speaker, melainkan proses kolektif yang membuat orang merasa terhubung.
Tradisi ini punya akar panjang di Skotlandia. Messenger Sound System menjadi pionir, lalu Mungo’s Hifi membuka jalan bagi generasi berikutnya, termasuk Tom. Kini lanskapnya makin luas dengan hadirnya kolektif seperti Hometown, Crucial Roots, Mighty Oak, Iron Aye, Cenote, hingga An Dannsa Soundsystem. Sementara itu, nama-nama baru seperti James Hometown, Wends, dan Benji Longstaff mulai muncul—calon wajah baru yang mungkin suatu hari akan berdiri di panggung festival dunia.
Tom The Torchbearer
Puncak perjalanan Tom terlihat dalam An Dannsa Dub, proyek yang ia dirikan bersama Euan McLaughlin saat pandemi. Mereka meramu dub heavyweight dengan instrumen tradisional Skotlandia, dan menyebutnya Future Dub from Ancient Scotland.
“Kami ingin musik ini tetap berakar pada tanah dan budaya kami, tapi sekaligus relevan di panggung dunia,” ujar Tom.
Kolaborasi dengan Gaudi dan Paolo Baldini melahirkan album “Through The Storm”—titik penting yang menegaskan kedewasaan konsep mereka. Menariknya, pertemuan dua kultur itu tak serumit yang dikira.
“Dub dan musik tradisional Skotlandia sama-sama punya jiwa memberontak, sama-sama berpihak pada rakyat. Itu benang merahnya,” jelas Tom.
Visinya untuk kultur sound system bersifat terbuka: memperluas jejaring global, memberi ruang pada tafsir lokal, sambil menjaga esensi musik ini—tentang kebebasan, perlawanan, dan komunitas. “Harapannya kultur ini bisa terus tumbuh, tetap punya makna, bukan sekadar pesta,” katanya.
Dan jika suatu hari ia bisa menyapa King Tubby? Tom sudah tahu kalimatnya:
“Thanks a lot, brother! Udah pernah dengar Scottish dub belum?”
Sebuah pernyataan sederhana tapi penuh makna: Tom seperti sedang deklarasi bahwa dub telah menjelma jadi bahasa global, dengan aksen lokal di setiap penjuru dunia.

Perjalanan Tom Spirals menegaskan bahwa identitas musik hari ini tidak lagi terikat pada batas geografis. Ia membawa akar lokal Skotlandia ke dalam percakapan global dub, sekaligus menunjukkan bagaimana tradisi bisa bertransformasi tanpa kehilangan makna. Dari eksperimen pribadi hingga kolaborasi internasional, karyanya menjadi contoh bagaimana musik terus hidup melalui pertukaran dan keberanian untuk berinovasi.
(Teks:Keyko, Editor: Sam)






Show Comments (0)