Akhir akhir ini, fenomena lantai dansa di berbagai sudut Jakarta jarang mendapat sorotan media arus utama. Interaksi orang-orang yang larut dalam musik, berbagi energi di ruang penuh asap rokok, aroma minuman, dan keringat, masih jarang diulas. Di banyak ruang yang menampung cerita pelarian kelas pekerja terhadap rutinitas yang membuat mereka teralienasi, atau sekedar perayaan musik skala personal ini sesungguhnya menyimpan ragam pesan unik. Sebuah perjalanan baru dalam skena Jamaican sound di tanah air. Bahwa bassline dan riddim di Indonesia masih terus berdentum dan membawa gema sukacita.
Di titik inilah Koddim Sound mengambil alih panggung. Tiga figur yang berdiri di balik turntable/DJ Controller, microphone, dan piranti mixer audio: AK47, Deejay Gantung, dan Risto. Mereka adalah kurator memori, arsitek atmosfer, sekaligus penjaga warisan sonik yang berakar di jalanan Kingston, Jamaika, namun kini bergaung di Jakarta. Sebuah manifestasi komunalitas yang nyaris absen dalam lanskap musik elektronik arus utama di tanah air.

Bagi Koddim Sound, dubplate adalah “materia prima” bahan mentah yang mengandung narasi, emosi, dan sejarah. AK47 menyebut:
“Dengan format kami yang sekarang, kami berusaha betul untuk menjadikan dubplate sebagai identitas kami tiap perform.”
Di dunia sound system, dubplate adalah rekaman eksklusif yang identik dengan gaya modifikasi dari sebuah lagu populer dan hanya diproduksi khusus untuk satu pihak, lengkap dengan lirik yang dialamatkan kepada pihak tersebut–juga tidak seringkali dengan menyampaikan pesan khusus. Di tangan Koddim Sound, format ini menjadi “senjata rahasia” sekaligus pernyataan ontologis tentang siapa mereka, apa yang mereka hormati, dan bagaimana mereka membuat lantai dansa berada dalam kendali mereka.
Deejay Gantung menambahkan satu kata kunci:
“Konektivitas. Setiap track atau dubs dari Koddim Sound punya konektivitas dan eksklusivitas antara kami dengan track yang dimainkan.”
Sebuah koneksi yang intim antara pengusung musik dan karya yang dibawakan. Risto melengkapi: “Dubs yang kami putar di tiap gigs mungkin sama, tapi presentasi kami selalu berbeda.”
Mendapatkan dubplate bukan perkara instan. Ini adalah proses yang melibatkan jaringan personal, negosiasi, bahkan diplomasi emosional. Di balik setiap potongan vinyl atau file digital, ada cerita tentang perburuan, penantian, dan kompromi.
AK47 mengisahkan mereka nyaris kehilangan tenggat waktu untuk mendapatkan dub dari sebuah track favorit. “Deadline sempit, artis sedang tur kepala pusing banget,” tambah Deejay Gantung. Risto menyebut singkat:
“Hampir semua dubs punya dramanya masing-masing. And that’s addictive.”
Dalam tahap kurasi, pertimbangan personal lebih dominan daripada logika pasar. Koddim Sound memburu potongan musik yang mampu membuka celah baru dalam lanskap kreatif mereka. Ketika sebuah dubplate terdengar “kurang pas” pada dengar pertama, mereka memberi kesempatan untuk mencerna utuh dari susunan instrumen hingga nuansa pesan vokal. Hasilnya, tak jarang mereka mendapatkan karya yang melampaui ekspektasi awal yang justru menjadi semacam artefak sonik bagi trio ini.
Meskipun akar mereka jelas di kancah musik Jamaika, Koddim Sound kerap membawa dubplate ke ruang yang tidak ortodoks. Pernah di sebuah acara non-musik Jamaika, mereka memutar dub yang sarat referensi kultural Jamaika. Reaksi audience tentu beragam, ada yang langsung menangkap pesan, dan ada yang terperangah tapi, seperti kata AK47, “Kami percaya, ada awal buat semuanya.”
Bagi mereka, momen ini bukan kegagalan. Sebaliknya, ia menganggap bahwa ini adalah langkah yang memang harus ditempuh. Mereka juga percaya, orisinalitas adalah sebuah tindakan “perlawanan.” AK47 memegang prinsip agar sebagian besar dubplate mereka hanya dapat dinikmati secara langsung di panggung. Jika ada yang merekam dan membagikannya, itu dianggap sebagai bentuk “shout” atau penghormatan terhadap Koddim Sound.
Deejay Gantung merumuskannya dalam kerangka yang lebih filosofis: “Di era digital semua orang bisa download lagu favorit. Tapi sedikit yang mau menempuh extra miles. Extra miles itulah yang bikin beda.” Risto menegaskan bahwa roh dubplate Koddim hanya dapat dirasakan ketika hadir di gigs mereka.

Di Indonesia, sejauh ini, Koddim Sound telah membuktikan satu hal: dubplate bukan hanya “alat musik”. Dubplate menjadi teks yang hidup, media yang memuat narasi personal, dan membawa irisan irisan dalam resistensi kultural. Mereka telah memulai langkah penting dalam memperkenalkan dubplate. Bahwa dubplate bisa membawa pesan yang dipersonalisasi, yang bisa menjaga ingatan bahwa musik ini adalah milik kita dan kita memiliki kemerdekaan yang absolute untuk memainkan nya dengan cara kita sendiri.
Ketika ditanya apa yang terjadi jika suatu hari dubplate menjadi tren massal di Indonesia, AK47 optimis. Ia berharap gaungnya sampai ke luar negeri, membuka pintu kolaborasi lintas batas, dan mengundang promotor internasional untuk mengapresiasi movement ini. Deejay Gantung menjawab singkat: “Nothing to worry, fam.”
Dan jika suatu hari legenda hidup seperti David Rodigan menantang mereka dalam sebuah soundclash? AK47 berkata: “Suatu kehormatan dan mimpi besar bisa bersanding dengan Sir Rodigan. Jika itu terjadi, kami akan menyiapkan dubplate dari Indonesia sebagai senjata kami, sekaligus mengenalkan beliau pada musik negeri kita.”
Deejay Gantung menambahkan: “Father Rodigan is too big, bro no other sound can play like him!”
Sementara Risto menyimpulkan:
“Ketemuan aja dulu, ngobrol.”
Jawaban itu mencerminkan esensi Koddim Sound: sebuah kolektif yang tahu kapan harus bermain keras di arena, dan kapan harus membiarkan musik menjadi bahasa yang menghubungkan, melampaui kompetisi. Di panggung, dubplate adalah senjata; di luar panggung, ia adalah salam persaudaraan. Menang atau kalah hanyalah perkara momen, yang abadi adalah musiknya.
(Teks:Keyko, Editor:Sam)






Show Comments (0)