Asep Nayak

“Wisisi”: Drum and Bass ala Papua

Pada edisi Reggae Rhizome, Kultur pernah membahas dampak kemajuan teknologi terhadap replikasi musik reggae. Perkembangan digital lewat drum machine, sequencer, sampler, hingga berbagai software plugin membuka jalan lahirnya subgenre dan eksperimentasi baru. Dalam dua dekade terakhir, terutama sejak 2010-an, pergerakan musik global semakin mengarah ke kultur digital, memantik banyak eksplorasi. Salah satunya datang dari tanah Papua: musik Wisisi.

Sekilas, Wisisi bisa dikategorikan sebagai bagian dari Electronic Dance Music (EDM). Namun, bila diperhatikan lebih dekat, terdapat infusi skanking rhythm ala reggae yang berpadu dengan melodi dan pola ritmis etnik Lani dari Lembah Baliem, Wamena. Perpaduan itu melahirkan atmosfer hipnotik yang membuat tubuh tak kuasa diam. Elemen-elemen bunyi tersebut diramu secara otodidak oleh Asep Nayak, sosok yang dikenal sebagai pionir Wisisi. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana suara bisa menjadi cermin identitas lokal sekaligus berdialog dengan kultur global.

Berikut adalah rangkuman wawancara Kultur bersama Asep Nayak.

Transformasi Tradisi Oral Menuju Musik Elektronik

Kulturdotmedia: Wa.. wa.. wa.. wa.. (salam khas Wamena). Halo Asep, apa kabar?
Asep Nayak: Wa.. wa.. wa.. wa.. Sehat dan sangat baik.

Kulturdotmedia: Asep Nayak ini nama asli atau nama panggung?
Asep Nayak: Nama panggung. Nayak itu sapaan untuk laki-laki di Lembah Baliem. Nama lengkap saya Asep Alexzander Logo.

Kulturdotmedia: Bisa jelaskan apa itu musik Wisisi?
Asep Nayak: Wisisi adalah istilah musik tradisional dari Wamena Barat. Di wilayah Lembah Baliem dikenal juga dengan nama Pesek, tetapi keduanya sama saja. Tradisinya adalah menyanyi sambil menyampaikan pesan—entah sedih, senang, gembira—secara spontan. Dulu dibawakan turun-temurun, lalu saya padukan dengan musik modern lewat aplikasi Fruity Loops (FL Studio).

[Wisisi berasal dari bahasa Lani, sebutan wisisi berarti sebuah ungkapan kebebasan rasa, yang disebut ‘Wi’ artinya petunjuk atau membawa diri; ‘Sisi’ mengundang penonton yang ikut menyaksikan. Wisisi diadakan dalam berbagai ritual acara sosial seperti pesta adat, acara hiburan, pesta rakyat, penyambutan tamu, penggalangan dana, maupun syukuran]

Kulturdotmedia: Wilayah Wamena Barat mencakup mana saja?
Asep Nayak: Lani Jaya, Puncak Jaya, Tolikara, Tagime, Bolakme, sampai Pyramid ke bawah yang masuk Kabupaten Jayawijaya.

Kulturdotmedia: Apakah Wisisi tradisional hanya vokal atau ada musik pengiring?
Asep Nayak: Ada. Biasanya diiringi gitar, meskipun dalam beberapa upacara adat hanya vokal saja.

Genesis Eksperimen Digital

Kulturdotmedia: Kapan mulai terpikir membuat Wisisi elektronik?
Asep Nayak: Sekitar 2012, saat SMP (YPPK ST.Thomas) di Wamena. Ada teman bernama Nikolas Sorabut yang sering bikin musik Wisisi untuk pesta. Setelah itu saya terinspirasi. Bapak angkat membelikan saya laptop Toshiba, lalu saya belajar sendiri. Hampir setiap hari ke warnet mencari cara membuat musik. Akhirnya, teman saya Fredi mengenalkan aplikasi musik, dan saya mulai bikin karya sendiri.

Kulturdotmedia: Masih pakai FL Studio?
Asep Nayak: Iya, sampai sekarang. Dulu rekaman suara susah. Karena rumah berisik, saya sampai ke hutan untuk rekaman. Tapi malah terekam suara angin dan burung. Waktu itu belum ada video tutorial seperti sekarang.

Kulturdotmedia: Genre modern apa yang mempengaruhi musikmu? Apakah reggae?
Asep Nayak: Inspirasi utama saya tetap musik tradisional. Sejak SD sudah sering dengar reggae dari Papua Nugini dan Mambesak. Tapi karya saya berangkat dari musik tradisi, lalu ditambahkan elemen modern seperti bass, kick, dan snare.

Dari Kamar ke Panggung Dunia

Kulturdotmedia: Sekarang rekaman di studio?
Asep Nayak: Tidak, studio saya ya kamar sendiri. Peralatannya hanya laptop dan headset. Untuk upload ke YouTube, saya belajar visual dan editing sendiri.

Kulturdotmedia: Pertama kali tampil live kapan?
Asep Nayak: Tahun 2021 di Biennale Yogyakarta. Awalnya saya hanya produksi musik. Saat ditanya soal format live, saya belajar kilat mengoperasikan DJ controller. Setelah perform, saya dibelikan DJ controller kecil oleh Wok The Rock, kurator Biennale yang sudah lama mengikuti karya saya.

Kulturdotmedia: Setelah itu rutin tampil?
Asep Nayak: Ya. Setelah residensi sebulan di Jogja, saya tampil di berbagai acara: G20, Greenpeace, Pesta Pora, Synchronize Fest, Joyland Bali, hingga CTM Festival di Berghain (Jerman), Rising Festival (Australia), Nyege Nyege Festival (Uganda), juga di Sonic Shaman Fest Taiwan dan Arab.

Resonansi dan Etos Kreatif

Kulturdotmedia: Bagaimana respons masyarakat Papua?
Asep Nayak: Ada yang mengkritik musik modern bisa menghilangkan musik tradisional. Tapi saya jelaskan, tujuan saya justru melestarikan. Wisisi saya tetap berakar pada pikon, nyanyian tradisional, dan gitar. Hanya variasi musiknya yang saya modernkan.

Kulturdotmedia: Tarian yang mengiringi Wisisi disebut apa?
Asep Nayak: Aster Wisisi. Gerakannya silang, maju-mundur, ada juga berputar. Variasinya 3–4 gerakan, kecepatan bisa santai hingga 150–160 BPM.

Kulturdotmedia: Pernah kolaborasi?
Asep Nayak: Belum banyak. Terakhir di Festival Danau Sentani dengan teman-teman Dayak dari Kalimantan.

Kulturdotmedia: Pesan untuk pembaca?
Asep Nayak: Teknologi memudahkan kita berkarya. Tapi penting menggunakannya untuk melestarikan budaya kita sendiri. Musik tradisional Papua harus kita kembangkan, jangan sampai orang luar yang mengambil keuntungan.

Lihat karya Asep Nayak:
YouTube | Spotify

(Yedi)

 

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Quino (Big Mountain)

Wawancara bersama Quino (Big Mountain)

Denny Frust

Motivasi dan keyakinan terhadap sebuah impian dan tawa renyah yang hangat dari sang “Pangeran”

Danil Usman

Wali Dub Nusantara