Dari Jamaika, reggae menjelma menjadi bahasa global lewat gelombang migrasi, dikuatkan Bob Marley, dirayakan karena pesan persatuan dan perlawanan. Di Indonesia, gelombang itu berubah jadi perayaan tropis khas Nusantara:
“Nggak kenal waktu, nggak kenal hari
hanyalah sunset dan sunrise.”
Dalam lagu “Sunny Day”, penyanyi ini membingkai ulang ide besar ke dalam senyum, ombak, dan cahaya. Reggae pun lahir kembali: santai, damai, tapi tetap bagian dari arus global yang menawan.
“I see ya smilin’ face
I feel the ocean wave
Today is sunny day
This is a happy day”
Album debut ‘Anak Pantai’ dan album sophomore ‘Sepontan’ sudah cukup untuk membungkam nada sumbang. Dua pusaka ini bukan reggae kosmetik, bukan pop murahan yang hanya menggantung downstroke demi festival. Dari keduanya lahir bahasa baru: reggae yang berani meng-Indonesia tanpa kehilangan martabat—lebih jujur ketimbang katalog panjang para pemimpi utopis yang menjual kartu pos rasta tanpa bassline, direduksi jadi playlist algoritma, dan diviralkan setengah matang.
Label “pionir reggae tanah air” memang terdengar hormat, tapi sejatinya kurungan. Imanez a.k.a Abdul Firman Saad, lebih dari pionir. Ia menyulap ikon kelapa tropis menjadi simbol groove lantai dansa penuh cahaya laser, membongkar imajinasi publik tentang reggae: bukan kriminal, bukan kostum, tapi keyakinan. Seperti yang ia nyanyikan:
“Yang kucari kesenangan, yang harus kubayar dengan mahal!”
Meski ia juga bercerita tentang rindu dengan begitu merdu lewat lagu “Samalona”—sebuah surat cinta tropis yang menjadikan sebuah loka di Makassar sebagai simbol pelarian sekaligus ruang intim—atau menegaskan bahwa cinta itu memabukkan sekaligus harus diperjuangkan dalam “Tequila Sunrise,” yang hangat sekaligus sinis. Imanez memiliki spektrum estetik yang lebar, di tangan nya, reggae bukan genre kaku, melainkan medium cair yang bisa menampung pantai, cinta, dan keraguan sekaligus.
Lewat “Pasti,” Imanez dengan lugas menohok dunia politik yang gemar menjajakan janji tanpa jaminan. Ia memakai diksi percakapan sehari-hari yang membuat pesan politisnya terasa egaliter:
“Kalo politikus bilang tuntutan akan terpenuhi
Walau mengobralkan berjuta-juta janji, Belum pasti!”
Sementara dalam “Topeng Monyet,” ia mengulik soal eksistensi, survival, dan kepalsuan. Satirnya subtil tapi menghujam: tontonan rakyat kecil menjelma cermin, memperlihatkan manusia yang juga berakting dengan topeng demi bertahan hidup. Imanez seolah berkata bahwa dunia sosial—politik, ekonomi, hingga keseharian—tak lain arena hiburan absurd. Ironinya jelas: monyet dipaksa menyerupai manusia, sementara manusia sendiri justru jadi “monyet bertopeng!”
Imanez adalah multitalenta yang ditempa di Gang Potlot, dan dua albumnya adalah manifesto musikal. Imajinasi itu terdengar megah dalam “Sunset,” atau dalam ekspresi panjang “Round & Round.” Track berdurasi 5 menit 54 detik berupa ekstase sonik yang mengawinkan tribal dengan drone chords, lalu perlahan mengalir ke steppa lengkap dengan build-up dan bubbling magis penuh mantra mengajak berdansa. Di tengah dekade 90-an yang dikurung pop dan rock maskulin, Imanez menawarkan perlawanan estetis yang tak bisa diabaikan.
Fakta bahwa internet nyaris bisu tentangnya, tidak membuat gema Imanez padam. Karya dan spiritnya menetap abadi di negeri ini, tetap beresonansi! Ia adalah jalan, sekaligus salah satu arsitek rahasia dengan karya adiluhung yang memicu bersinarnya warna reggae di Indonesia!
(Sam)
Show Comments (0)