Nota Singkat Musik Jamaika di Indonesia

Sebuah hasil kutipan “oral history” versi amatir dari redaksi Kultur dengan beberapa narasumber di tanah air.

Di banyak penjuru dunia, musik asal Jamaika selalu berkembang mengikuti zaman, bahkan beriringan dengan kemajuan teknologi.

Tradisi musik di karibia bisa dibilang bermulai pada akhir abad 17, saat dalam jumlah besar bangsa Afrika menjadi “komoditas” dalam sejarah perdagangan budak oleh Kerajaan Inggris, yang menempatkan mereka di kawasan West Indies. Dari sejarah ini, budaya bangsa Afrika melebur dengan budaya karibia yang melahirkan musik Calypso.

Trinidad & Tobago menjadi “rumah” bagi Calypso, musik yang berakar pada Ka’iso dari Afrika Barat. Dinyanyikan dengan bait-bait Afrika, serta patois berisi ejekan, sarkasme dan satire sebagai sikap resistensi kepada “tuan” mereka. Lirik ini berakar dari griot/jali seni oral Afrika Barat.

Di Jamaika, beriringan dengan Calypso, muncul musik hasil peleburan ritual dan budaya Kumina dari Congo. Musik dengan dominasi bassline yang dihasilkan oleh sejenis trumpet, dua set drums dalam ketukan 4/4 dengan aksen pada beat pertama dan ketiga. Lalu disisipi bebunyian dari perkakas dengan sebutan shakas dan scrapers, juga botol rum bekas dan sendok.

Dengan beat yang lebih lambat, Jamaika menemukan musik lain, musik ini dikenal dengan nama Mento. Mento lebih banyak menggunakan instrumen musik baku semacam saxophone, flute, banjo hingga akustik gitar dan rumba box (berperan menghasilkan tone bass). Lalu, Jamaika menghadirkan musik lain setelah ini, Ska, Reggae, Dancehall, dan Dub.

Tahun 1948 (22 Juni), saat Inggris sedang bangkit usai perang dunia dua, ada peristiwa besar yang dikenal dengan “Windrush Day”. Sepanjang tahun 1948 hingga 1971 sebuah kapal penumpang bernama “Windrush Empire MV” membawa 500.000 penumpang asal Karibia yang (mendapat janji) akan dipekerjakan oleh pemerintah Inggris. Setelah menetap, generasi ini dikenal dengan sebutan “Windrush Generation”.

Source: WindrushBaby

Windrush Generation, membawa pengaruh besar dalam perkembangan musik Inggris, yang saat itu “hanya” didominasi oleh swing dan band dansa. Beriringan dengan perkembangan musik di Jamaika sendiri, nama nama besar seperti Stanley Monta, Ken Khouri, Sugar Minott, Yellowman, Barrington Levy, The Skatalites, Bob Marley & The Wailers, King Tubby, Augustus Pablo, Lee Perry dan lain-lain, menghasilkan karya-karya bagai komoditi ekspor bagi musik dunia. Di luar nama nama ini, “ekspor” dari Jamaika seperti “invasi” bagi banyak kelahiran Genre baru. “Tamu-tamu” yang berkunjung dan membawa “oleh-oleh” dari Jamaika juga berperan menyebarkan di negara asal mereka, sebagai contoh, seorang pemuda asal Inggris, Adrian Sherwood lalu ada juga David Rodigan. Sosok seperti Prince Buster bahkan menginspirasi band asal Inggris, Madness bersama kolega abadinya The Specials, juga The Beat, The Selecter (2 Tone) dan Bad Manners hingga Musical Youth.

“Ekspor” ini seperti tidak berhenti, dekade berikutnya terus melahirkan nama nama baru yang terpengaruh musik-musik Jamaika. Di banyak penjuru dunia, musik asal jamaika selalu berkembang mengikuti zaman, bahkan beriringan dengan kemajuan teknologi. Nama seperti Operation Ivy, The Mighty Mighty Bosstones, The Slackers, New York Ska Jazz Ensemble, Hepcat, The Aggrolites, Sublime, Asian Dub Foundation, Dub Pistols, Thievery Corporation, Chinese Man dan High Tone.

Ska di Indonesia

Musik Jamaika juga sampai ke Indonesia, Band asal Papua Black Brothers, Nola Tilaar, Abresso, Rastafara, sudah memainkan musik reggae dalam karya mereka sejak akhir 1970 hingga 1980 an. Album “Anak Pantai” dan “Sepontan” milik Imanez medio 90 merupakan sorotan penting untuk musik reggae dalam industri musik arus utama.

Pada dekade ini, di kawasan Pejaten Jakarta, lahir outfit musik dari kultur skinhead dengan elemen ska, Sixtols. Unit ska (ala 2Tone) Skalie dari kawasan Cawang – Jakarta, lalu Rage Generation Brothers dengan skoinkcore (ska Oi! Punk & Hardcore) dari kolektif punk SID Gank & Sub Normal Jakarta, Waiting Room sebagai bagian dari salah satu pelopor; Young Offender sempat merilis album klasik “Ruang Tunggu”, juga dengan komposisi ska. Kemudian, tidak jauh rentang waktu, nama nama lain seperti Rolling Doors, Artificial Life, Jun Fan Gung Foo, Es Coret, Permen, Arigatoo, hingga Tipe-x menghiasi flyers acara acara musik di zaman itu, masa masa yang juga sebagai titik awal perkembangan musik sidestream tanah air.

Di saat yang sama, di luar Jakarta juga hadir band ska. Bandung dengan Noin Bullet, Yogyakarta dengan Shaggy Dog. Begitu juga kota lain, seperti Surabaya, Semarang, dan Solo melahirkan outfit Ska sendiri. Era ini bisa dibilang adalah puncak menyebarnya musik jamaika di Indonesia lewat ska, Tidak hanya dominasi Jakarta, Bandung dan Yogya. Dari kota lain, kita bisa telusuri lewat dua seri album “Ska Klinik” rilisan salah satu label musik besar tanah air. Di Sumatera, Maskaryoo asal Lampung dan Jester dari Aceh.

Setelah era ini, perkembangan ska di Indonesia tetap berlanjut  hingga kini. Mulai dari Souljah, The Authentics, solois Denny Frust, Don Lego, Bandung Inikami Orcheska, Heavy Monster, Sir Iyay, Ska Banton, Alaska-Q, The Candies, Sentimental Moods, Monkey Boots, dan High Moon. Tiga nama terakhir di atas ikut hadir dalam Festival Ska Online “Asian Ska Community”  sebuah event yang digagas dari kolektif Ska asal Mexico awal Agustus lalu. Sebagai catatan, Afiliasi dari sebuah kolektif ska Indonesia, “Indonesian Ska Connection” memiliki jejaring yang tersebar di banyak kota Indonesia, Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan juga beberapa kota di Kalimantan dan Sumatera.

Reggae di Tanah Air

Secara paralel, reggae di Indonesia juga bergerak, pionir dan legenda tanah air seperti Tony Q, lalu Steven & The Coconut Treez hingga Duta Reggae Indonesia Ras Muhamad adalah nama nama yang bisa dibilang sebagai ground breaker setelah almarhum Imanez.

Indonesia juga tercatat memiliki salah satu seniman yang sempat aktif di Eropa, pria kelahiran kota Yogyakarta dengan moniker Anies Saichu. Di bagian tengah Indonesia, Bali, Joni Agung & Double T, dan S2B (Gili Trawangan).

Selain proyek album various artist  berjudul “Indonesian Reggae Revolution” yang menjadi pembuka jalan lanjutan, (menghasilkan nama nama, di antaranya: Kowena, The Paps, Gangsta Rasta, Richard & The Gilis, dan Matahari) ada juga sebuah event reggae party bertajuk festival di bilangan di kawasan Kemayoran dengan headliners antara lain, Boys n Roots, Cozy Republic, dan Marapu. Yang karena momen itu, menyatukan banyak unit dan outfit reggae tanah air, dari Cirebon misalnya, menyumbang daftar catatan melalui Another Project, dari Lampung melalui band Reggae Mampus.

Tetap dengan geliat nya, reggae di Indonesia banyak nama lain yang kemudian lahir, sebut saja Conrad Good Vibration, Pasukan Lima Jari, band Shore dan unit reggae dengan attitude punk asal Jakarta, D’Jenks. Kemudian Peron Satoe, Nath The Lion, dan Momonon (dari Rangkasbitung) Serta Tropical Forest dari Malang, Jah On Holiday, Sumbawa, bahkan musisi dari tanah Papua, Gorby.

Dub di Nusantara

Circa 1980 awal, Indonesia sebetulnya sudah memiliki hubungan tidak langsung dengan “dub”, Perusahaan besar Remaco tercatat pernah merilis album dari artis Ernie Djohan (bersama Band De Meicy’s) yang memuat lagu dengan judul “Disco dub”. Track yang memiliki kesamaan komposisi dengan lagu berjudul “Head Ache” milik The Revolutionaries dari EP “Disco Dub” rilisan channel one (Jamaica).

Baru pada tahun 2005, lewat album kompilasi garapan majalah “Trax”, Dubyouth (sound system) representasi dari kota Yogyakarta menghentak skena Jamaican music tanah air lewat single, “Bomb Da Town”.

Pada era ini (medio tahun 2000 an), beberapa musisi dan produser musik musik jamaika di berbagai kota di Indonesia mulai bereksplorasi dengan Dub (baik dengan sentuhan analog maupun digital) untuk karya dan rilisan mereka. Diantaranya adalah, Cek Ombak Project, Roadblock Dub Collective, Mighty Che, dan The Paps.

Eksperimen Dub serta kultur sound system hingga saat ini terus tumbuh di Indonesia. Outfit dub terus bermunculan dari berbagai wilayah di Indonesia. Tidak hanya produser, namun Selekta / Deejay,  dan juga MC.

Sejak 2017, skena dub di Indonesia makin meriah, pada tahun ini Yella Sky Sound System (Jakarta) merilis debut “General Irie”. Lalu pada 2018, Rub Of Rub (Bandung) hadir dengan EP “Ruang Waktu”, Solois Radit Echoman, merilis “Truly Gili”, disusul High Therapy (duo bass dan drum asal Tangerang) dengan mini album “16 to 18”. Tahun 2019, Anjing Dub (duo asal Bandung) hadir dengan album “Gembira”, dan produser asal Majalengka (Jawa Barat) Dizzy Riz hadir dengan rilisan “Langkah Awal” dan “Bali Dub”, kemudian solois asal kota Cirebon, Baxlaxboy dengan mini album “Burn It, Feel It and Free Your Mind”. Pada penghujung tahun 2019, Dub House Records (Bandung) merilis “Nusantara Dub Connection” (sebuah kompilasi dub tanah air) yang mendokumentasikan dub-act lokal seperti, Kusni Kasdut, King Masmus & Magixriddim, Tragic Sound System dan Angkatan Udara. Hingga kuartal pertama tahun 2020 ini, dub di Indonesia tetap bergema, Aset Negara Sistem Suara membuka tahun 2020 dengan rilisan “Reggae Foreplay”. Lalu Jumat Libur Soundsystem merilis karya mereka melalui kanal youtube pada awal Agustus ini.

. . . ruang, gema, dan di antara nya.

Di banyak kota di Indonesia, sebaran skena Jamaican Music tumbuh subur dan dinamis dengan banyak ragam pelaku serta penggemar. Tidak hanya melahirkan outfit/unit music atau solois, tetapi banyak produser musik atau sebuah event. Gigs regular baik bulanan atau tahunan selalu menjadi tujuan. Semarang, tercatat menggelar Semarang Ska Festival yang pernah membawa Roy Ellis dan Chris Murray sebagai headliner. Bandung juga punya Jambore Ska, Mari Berdanska, serta Kambenoy. Dari Jakarta, salah satu pioneer musik elektronik bernama Javabass memiliki sebuah signature event, Phunktion. Suatu alternatif bagi jamaican music aficio​na​do untuk menikmati jungle music. Kemudian “Return of The Rootbois” (milik salah satu mentor ska tanah air, Revival records). Dari salah satu sekolah seni di Jakarta, sekelompok mahasiswa dengan nama Los Jakartos juga pernah bersinggungan dengan dub pada pertengahan tahun 2000 an, hasil transformasi dari kelompok ini kemudian melahirkan gigs tahunan yang intim dan penuh kesenangan bernama “Reggae X-Mas”.

Jakarta juga memiliki Selekta/Deejay dengan setlist jamaican music melalui piringan hitam, sebagian daftarnya adalah; Dee Jay Gantung, lalu kolektif Fever Sound System, Sir. Allen, Octopussy, Kodim Inna Riddim dan Mantasticmate. Tidak hanya di Jakarta, sajian piringan hitam ini juga ada di kota kota lain seperti. Kawan Dolly, (Yogyakarta), Usinnisu, Syauta, Dhika Willy, kolektif Poom Poom (Bandung), Soundbwoy Dodix, Juik Cobra, General Rie (Bali), Manpanji (Lampung) Nutty Sina dan Gimanzz (Surabaya) . Geliat pesta dansa jenis ini, kerap juga menghadirkan jajaran MC. Beberapa nama dari tanah air antara lain, King Daddy, Yala-yala, Roy Macan, Jonskee, King Partinxx, Fandy DFMC, dan Bayu Tombak.

(sam)

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Joe Higgs

Sosok sederhana yang membuat reggae penuh warna-warni keindahan

Don Drummond

Sekilas Kisah Don De Lion Sang Virtuoso