Joseph Hoo Kim

Kisah perjalanan musik Jamaika, dari berbagai era sangat menarik untuk disimak. Salah satu nya adalah, sederet nama nama pelaku yang berperan penting dalam pertumbuhan musik Jamaika sejak awal. Beberapa nama di antara sosok-sosok penting tersebut adalah keturunan Asia, fakta lain yang menarik untuk ditelusuri. Setelah  beberapa waktu lalu Kultur membagikan catatan kecil tentang Leslie Kong pemilik Beverly’s Records, kali ini adalah catatan kecil kami tentang Joseph Hoo Kim, pendiri studio dan perusahaan rekaman legendaris Channel One!

Tumbuh besar di Maxfield Avenue, Kingston – Jamaika, Joseph “Jo Jo” Hoo Kim bersama sang adik, Ernest Hoo Kim bersinggungan dengan industri musik. Hal ini terjadi sebagai buah dari kecerdasan mereka berwirausaha setelah bisnis jukebox dan operator untuk mesin judi slot yang dijalankan oleh sang ayah terpaksa terhenti pada tahun 1970an karena regulasi pemerintah Jamaika. 

Berasal dari keluarga multikultural, Joseph dan Ernest begitu mudah menyerap berbagai budaya. Ibu mereka memiliki garis keturunan Cina dan Yahudi, sementara ayah mereka adalah pendatang dari negeri Cina yang kemudian memilih menetap di Jamaika, meski awalnya memiliki rencana untuk menetap di Panama. 

Perjalanan Jo Jo, bisa dibilang bermula saat ia berkunjung ke Dynamic Sound (studio milik Edward Seaga, yang di kemudian hari menjadi perdana menteri Jamaika) bersama veteran reggae John Holt. Kunjungan inilah yang akhirnya menginspirasi Jo Jo untuk membangun studio musik. Pada tahun 1972, Jo Jo bersaudara mengeluarkan dana sebesar 32.000 dollar dengan tambahan bantuan modal dari Bill Garnett sebesar 42.000 dollar, mereka memulai usaha studio musik dengan teknologi 4 track di gedung yang sama milik keluarga Jo Jo. Unit usaha ini juga menjadi sebuah label rekaman, Channel One!

Di era awal, Jo Jo menggaet Bunny “Striker” Lee sebagai produser, dan  Syd Bucknor (saudara sepupu dari Clement “Coxson” Dood pemrakarsa Studio One) sebagai sound engineer. Formasi ini kemudian melakukan sebuah “uji coba” dengan memproduksi single “Can “I Change My Mind” milik Delroy Wilson dengan dukungan group legendaris Soul Syndicate. Sebuah langkah yang kemudian mendorong talenta lain dari Jamaika untuk berkarya di sana. Nama nama yang kemudian menjadi ikon dan legenda, antara lain Henry “Junjo” Lawes, Phil Pratt dan Lee “Scratch” Perry

The Revolutionaries

Channel One memang menjadi “situs” penuh nilai sejarah dalam khazanah musik dari Jamaika yang kini dinikmati di seluruh dunia. Salah satunya adalah, ide Jo Jo bersaudara menyediakan musisi-musisi in-house untuk mendukung produksi arti artis Channel One. Perkumpulan musisi tersebut adalah, The Revolutionaries. Unit musik yang kemudian melahirkan duet rhythm section adiluhung tersibuk sepanjang masa, Sly Dunbar (drum), Robby Shakespeare (bass). The Revolutionaries juga diperkuat oleh banyak legenda lain, seperti Ansel Collins (keyboard) serta Tommy McCook (saxophone). Setelah produksi untuk Delroy Wilson, perlahan mereka menghasilkan banyak rilisan, mulai dari Leroy Smart, Junior Byles hingga Horace Andy.

Kedigdayaan Channel One makin terlihat, hal ini ditandai dengan keberhasilan single “Right Time” milik The Mighty Diamonds. Tahun berikutnya Jo Jo bertindak sebagai produser untuk LP mereka dengan titel yang sama. Bergantian, John Holt, Black Uhuru, The Wailing Souls dan Dillinger turut menjadi bagian dari sejarah imprint musik penuh sejarah ini. 

Channel One juga sempat menjadi kepanjang tangan imprint musik seperti Greensleeves Records, Island Records dan Virgin Records untuk mengedarkan karya mereka di Jamaika. Jo Jo juga tercatat sebagai produser pertama yang melakukan produksi dengan metode penggunaan rhythm lawas untuk sebuah karya baru, meski ini sempat jadi kontroversi, akhirnya metode ini banyak digunakan hingga kini.

Tahun 1977, menjadi titik terendah seorang Jo Jo yang dilanda depresi hebat, manakala adik keduanya Paul Hoo Kim, tewas dalam insiden perampokan. Akibat kejadian tragis ini, ia memutuskan untuk rehat sejenak dan pergi New York – Amerika Serikat, sekaligus seabagai ruang untuk evaluasi kemampuan bisnisnya. Pada tahun 1979, Jo Jo merenovasi studio Channel One di Jamaika, dan pulang-pergi setiap bulan untuk melakukan kontrol produksi. 

Pada awal 1980an, Jo Jo kembali menggandeng Ernest Hoo Kim untuk membuka anak usaha Channel One di kawasan Brooklyn, New York. Dan pada tahun 1983, Channel One mengedarkan rangkaian album bertajuk “Showdown Series.” Sebuah konsep produksi yang memasangkan penyanyi baru untuk bersanding dengan figur tersohor dengan nuansa kompetitif yang dikenal dengan seri “clash”, Rilisan pertama dari 8 seri ini adalah aksi dari Little John yang berhadapan dengan seniornya Barry Brown

Dominasi musik dengan warna gaya digital di Jamaika kala itu, membuat dua bersaudara tersebut memutuskan menutup studio miliknya dan tinggal secara permanen di New York. Jo Jo (Joseph Hoo Kim) meninggal dunia pada 20 September 2018 karena penyakit kanker liver yang dideritanya. Walau begitu, legacy dari Channel One tetap hidup hingga kini!


(Text: Keyko, Editor: Sam)

  • Show Comments (0)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

comment *

  • name *

  • email *

  • website *

You May Also Like

Budaya Penuh Deru Di Lantai Dansa

Edisi Khusus: Budaya Penuh Deru Di Lantai Dansa

Diversitas Tanpa Batas Dalam Dub

Edisi khusus: Diversitas Tanpa Batas Dalam Dub

The Specials “Protest Songs 1994-2012”

Terry, Lynval & Horace Dalam "Protest Songs"