Ia dikenal dengan nama panggung Masanies Saichu. Memulai karirnya sebagai salah seorang scenester di gelombang awal Jamaican Sound di tanah air. Pernah menjadi frontman dari unit musik penuh riwayat yang pernah ada di Indonesia, Asian Roots.
Terlahir dengan nama Anies Syaichu di Yogyakarta, ia mulai bersinggungan dengan musik di kota ini. Sebelum memainkan reggae, ia pernah memainkan rock dan new wave. Dari The Rolling Stones, The Beatles dan Alice Cooper pernah Ia mainkan. Saat menetap di Jerman akhir 1970 an ia sempat membentuk band new wave, melalui sang drummer saat itu, ia mengenal reggae.
Sempat kembali ke tanah air tahun 1985, ia menetap sejenak di Bali, menjadi penyanyi dengan berbagai band residence di banyak tempat hiburan. Ia kembali ke Belanda setahun kemudian. Kepada kultur, Masanies bercerita:
“Setahun di Bali, saya ke Belanda. Dari sana, bersama teman teman menghadiri ‘Reggae Sunsplash Festival’ di Jamaika. Nonton Black Uhuru, Yellowman, Sugar Minott dan banyak lagi. Sejak saat itu, saya menggeluti reggae”
Lebih lanjut ia menjelaskan, Bob Marley adalah inspirator terbesar baginya dalam reggae. Meski ia menggarisbawahi bahwa menjadi dirinya sendiri adalah sesuatu yang menjadi fondasi untuk berkarya bagi nya. Ia menambahkan:
“Bob (Marley) is one of the best in the world. (karyanya) membawa semangat Intellectual Rebel. Inilah makna reggae secara utuh bagi saya”
Masanies menjalankan karirnya begitu santai. Berkesenian baginya adalah merasa bebas dan membuat diri senang. “Seperti lukisan abstract, ia harus murni dari kemauan kita” begitu ia menjelaskan. Suka cita dalam menjalankan karir membuatnya “hanya” menghasilkan 2 album, “Yang Bagus Akan Datang” (2003) dan “Gombale Bolong” (2012) sejauh ini. Saat ini, Ia sedang mempersiapkan album ke 3.
Dalam proses produksi, ia kerap bekerja bersama berbagai musisi. Akhir akhir ini, ia didukung oleh salah satu talenta besar tanah air Fred Gasa sebagai tandem berproduksi. Bersama Fred, yang jauh lebih muda, ia mengenal teknologi dan begitu menikmatinya.
Catatan menarik dari Masanies bagi kultur adalah, formula yang ia tuangkan kedalam karya-karyanya. Ia mengakui, selain Marley, ia juga terpengaruh ASWAD dan menyukai unit musik asal New Zealand, Katchafire. Namun karya Masanies selalu menggoda untuk ditelusuri.
Ia dengan mudahnya menyampaikan pesan tersembunyi dalam “Gombale Bolong” bahwa laki-laki harus ksatria, sebagai bekal di masa depan. Dalam lagu “Sing Dodol Jamu” ia mengangkat kisah tentang seorang penjual jamu keliling, yang baginya merupakan sosok pahlawan kesehatan masyarakat. Semua ini, ia tulis dalam bahasa Jawa. Beliau menjelaskan alasan dibalik hal hal tersebut:
“Karena pride, itu kebiasaan, saya terbiasa menggunakan bahasa Jawa. Dia bahasa ibu bagi saya. Melekat dalam jiwa saya, saya tentu lebih menjiwai”
Ia juga menambahkan, seperti keyakinan nya terhadap reggae yang merupakan bentuk lain dari intellectual rebel:
“Saya percaya (lewat reggae), kita bisa membagikan kebaikan yang dimiliki negeri ini kepada dunia, (tentang membagikan) kedamaian, lingkungan, dan kebanggan terhadap tanah air”
Selain musik, Masanies juga memiliki passion lain yang sama besar, melukis. Salvador Dali adalah Bob Marley baginya dalam passion melukis ini. Seperti mengamini pernyataan sebelumnya di atas, “melukis adalah hal yang menyenangkan dalam hidup”, ujarnya.
Ya, dengan bersenang senang Masanies menjalankan hidupnya bersama musik. Ia bahkan tidak mengetahui bagaimana kisah dibalik video musik lagu “Don’t Run” miliknya bisa disiarkan oleh salah satu portal reggae bergengsi di dunia, Reggaeville. Sesuatu yang istimewa, seharusnya! Jaya selalu Masanies! Terus bersenang-senang!
(Reporter:Keyko,Text:Sam)
Show Comments (0)